Rabu, 30 Januari 2008

SUBACUTE SCLEROSING PANENCEPHALITIS

SUBACUTE SCLEROSING PANENCEPHALITIS

Pendahuluan

Subacute sclerosing panencephalitis (SSPE) merupakan penyakit susunan syaraf yang progresif disebabkan oleh virus campak. Istilah ini pertama kali di perkenalkan oleh Greefield tahun 1960 yang menggambarkan adanya infeksi pada substansi alba dan grisea otak. Tahun 1930, Dawson mengambarkan pertamakalinya otopsi otak seorang anak dengan gangguan mental yang progresif dan gerakan yang tak disadari dimana ditemukan badan inklusi pada substansi grisea. Tahun 1969 ditemukan virus campak pada jaringan otak penderita.1,2,3,4

Hampir diseluruh dunia ditemukan SSPE, umumnya insidens penyakit ini tinggi di negara sedang berkembang dan ini dikaitkan dengan tingginya kasus campak di negara tersebut. Dengan adanya program imunisasi campak, terlihat penurunan insidens SSPE terutama di negara berkembang. 1,3,4

Tujuan penulisan tugas subbagian ini adalah untuk lebih memahami patologis, diagnosis dan tatalaksana Subacute Sclerosing Panencephalitis.

Definisi

Subacute sclerosing panencephalitis ( Dawson Disease ) merupakan gangguan neurologis progresif yang disebabkan oleh virus campak yang menyerang pada masa anak-anak dan remaja. Penyakit ini bersifat fatal dan dihubungkan dengan infeksi virus campak pada otak, serta ditandai dengan terjadinya demensia, mioklonus, gangguan penglihatan, kejang dan koma. Penyakit ini pertama kali timbul pada usia antara 5-12 tahun, lebih sering menyerang laki-laki dibanding wanita dan mempunyai prognosis buruk yang berakhir dengan kematian dalam 1-3 tahun.1,2,5,6,7,8

Virus morbili diperkirakan sebagai penyebab penyakit ini, berdasarkan ditemukannya partikel paramyxovirus dalam otak, titer antibodi yang positif terhadap morbili dalam serum dan cairan otak, antigen morbili pada korteks cerebri, serta diisolasinya virus morbili dari otak penderita. 8,9

Epidemiologi.

SSPE telah dilaporkan dari seluruh belahan dunia, di AS telah dilaporkan frekuensi penyakit ini sekitar 1 per 1 juta populasi anak pada tahun 1960 s/d 1970, di India ( 1990 ) dilaporkan 21 kasus per 1 juta penduduk, di Timur Tengah berkisar antara 2,4 kasus per 1 juta anak. Di Papua Nugini ( 1990 ) sekitar 56 kasus per 1 juta penduduk di tahun 1990. Di Canada selama tahun 1997 sampai 2000, insidens sekitar 0,06 per 1 juta anak pertahun. Dari Australia dilaporkan insidens 0,02 per 100.000 anak pertahun. Usia pertama kali timbul antara 5-12 tahun, gejala mulai timbul 2-10 tahun setelah terinfeksi campak. Jimmy Passat melaporkan pada tahun 1985 sampai 1993 terdapat 26 penderita di RSCM.1,2,4,5,10

Sebagian besar penderita SSPE pernah menderita campak pada masa anak ( < style=""> muncul gejala neurologi yang progresif. Anak yang terinfeksi campak pada usia < style=""> akan 16 kali lebih mudah terkena dibanding anak yang terkena campak pada usia > 5 tahun. 1,6 Insidens penyakit ini lebih tinggi pada anak laki-laki dibanding anak perempuan ( 3:1 ), tinggal didaerah perdesaan, anak dengan retardasi mental, dan anak yang tinggal di pemukiman yang padat.1,2,7,8

Tabel 1. Variasi Komplikasi Penyakit Campak . 1

  • Post measles –encephalitis

  • Measles inclusion body encephalitis
  • Subacute sclerosing panencephalitis
  • Postinfectious
  • Transverse myelitis

Timbul segera setelah infeksi, merupakan

reaksi autoimun

Timbul minggu atau bulan setelah infeksi

Infeksi oleh virus yang persisten diotak

Reaksi imun akut

Jarang, reaksi imun akut

Patogenesis dan Imunologis.

Mekanisme terjadinya SSPE belum diketahui dengan pasti, diduga karena adanya virus campak yang inaktif dalam sel.9 Virus campak merupakan virus RNA ( subbagian dari paramixovirus), mempunyai struktur sferis, dengan diameter 100-250 nm dan terdiri dari 6 protein. Kapsul dalam terdiri dari RNA dan 3 protein sedangkan kapsul luar terdiri dari 2 tipe peplomer, Hemaglutinasi (H) dan Protein Fusion (F). Matriks (M) protein terdapat dalam kapsul dan dapat berinteraksi dengan protein H dan F. Virus ini mencapai otak melalui infeksi pada sel endotel jaringan otak yang diperkirakan terjadi selama fase eksantem dan menginfeksi sel endotel lainnya. 1

Terdapat perubahan imunologis pada penderita SSPE antara lain , kadar Neutralising antibody tinggi dalam serum dan LCS, peningkatan konsentrasi γ globulin pada serum dan LCS, pemeriksaan fluorosensi positif terhadap antibodi campak pada jaringan otak dan infiltrasi sel plasma perivaskuler. 5,7 Tahun 1969 Meulen dan kawan-kawan menunjukan adanya antibodi spesifik campak, dan peningkatan gama globulin pada jaringan otak penderita. 1,6,7

Penyebab pasti menetapnya virus campak dalam tubuh tidak diketahui, diperkirakan setelah infeksi akut, virus morbili hidup dalam bentuk inaktif dalam sel, diduga ada peranan protein M yang diperlukan untuk proses penyebaran virus keluar sel, karena produksi protein M yang rendah sehingga virus terakumulasi dalam sel yang tidak bisa dihilangkan dengan imunitas humoral dan selular.1,9 Terjadinya SSPE diduga ada peranan faktor imunologis penderita . Dari beberapa percobaan dapat disimpulkan bahwa infeksi campak yang terjadi pada usia bayi, dimana masih terdapat antibodi campak dari ibu, akan meningkatkan resiko terjadinya SSPE, karena virus campak akan merubah gambaran gennya sehingga tidak dikenal oleh tubuh.1

Patologi.

Biopsi otak yang dilakukan pada penderita memperlihatkan perubahan gambaran korteks serebri, ditemukan inflamasi meningen dan parenkim otak, yang mengenai substansi alba dan grisea, degenerasi neuron, gliosis, proliferasi astrosit, infiltrasi sel plasma dan limfosit perivaskuler. Pada stadium lanjut ditemukan atrofi korteks serebri dan demielinisasi. Khas pada SSPE yaitu ditemukannya badan inklusi intranuclear pada neuron sel glia.1,9 Bagian otak yang pertama terlibat adalah lobus oksipital, pada stadium lanjut kelainan meliputi lobus parietal, temporal. ganglia basal, batang otak sampai serebelum. 1,9 Inklusi virus juga bisa ditemukan di batang otak pada stadium lanjut, dimana telah terjadi degenerasi, demielinisasi dan atrofi korteks serebri. 7

Gambaran Klinis.

Gejala SSPE terbagi 4 fase 1,5,7,8,9

Stadium I merupakan stadium awal ditandai gangguan psikointelektual dalam bentuk disfungsi cerebral berupa gangguan mental dan kepribadian, penderita tampak labil, kemampuan belajar disekolah menurun, mudah terangsang serta menunjukan tingkah laku yang anti sosial, letargi dan depresi. Stadium ini berlangsung kurang dari 6 bulan . 1,5,8,9

Stadium II. Fase ini timbul setelah beberapa minggu atau bulan yang ditandai dengan timbulnya gangguan neurologi berupa kejang, bisa disertai demensia, ataksi, gangguan penglihatan dan pendengaran, gangguan refleks dan paralisis. Bisa timbul mioklonus yang ditandai dengan kesukaran berjalan atau jatuh tiba-tiba. Penderita menunjukan gejala piramidal dan ekstrapiramidal, seperti gerakan koreoatetosis dan balismus. Pada 50 % kasus ditemukan kelainan mata, seperti buta kortikal, korioretinitis, papilitis dan atrofi optik. Stadium ini berlangsung selama 6-12 bulan. 1,8,9

Tabel 2. Gangguan penglihatan pada Subacute sclerosing panencephalitis. 1,5,11

  • Papiludem
  • Papilitis
  • Atrofi optik
  • Korioretinitis makula atau perimakula
  • Buta kortikal
  • Sindrom Antón : Buta kortikal dengan buta yang tertunda

Stadium III timbul setelah beberapa bulan atau bahkan tahun, yang ditandai dengan kehilangan kemampuan interaksi dan kognitif serta gangguan otonom. Penderita mengalami kelemahan extremitas, mioklonus berkurang atau bahkan menghilang. Gangguan otonom bisa berupa gangguan termoregulator. Stadium ini berlangsung kurang 6 bulan, kebanyakan penderita meninggal pada stadium ini. 1,5,7,8,9

Stadium IV. Penderita mengalami penurunan kesadaran dan jatuh kedalam keadaan koma dan akhirnya berada dalam kondisi vegetatif deserebrasi. Gangguan neurologis bisa tidak mengenai fungsí vital batang otak, sehingga penderita bisa bertahan hidup beberapa tahun dengan perawatan yang baik. Pada stadium ini kematian bisa timbul karena hiperpireksia atau gangguan kardiovaskular. Stadium ini bisa berlangsung selama 1 sampai 10 tahun. 8,9

Penderita bisa meninggal 6 bulan setelah onset pertama timbul, namun beberapa penderita bisa bertahan selama 20 tahun dengan perawatan yang baik. 11

Pemeriksaan Penunjang.

Darah

Secara umum pemeriksaan darah tepi memberikan hasil yang normal. Dari peme

riksaan imunologis ditemukan peningkatan titer antibodi IgG dan IgM terhadap virus campak. Titer antibodi yang tinggi dalam serum mencapai 1:256 atau lebih, khas untuk penyakit ini.5,6,8,11,12

Cairan Cerebro Spinal

Cairan cerebro spinal bisa memberikan gambaran sel yang normal atau meningkat yang didominasi oleh sel mononuklear, kadar protein bisa normal atau sedikit meningkat, tapi kadar gama globulin, terutama IgG selalu meningkat sampai 60 % dari total protein. Peningkatan titer antibodi terhadap virus campak di LCS merupakan temuan yang khas untuk penyakit ini. Pemeriksaan antibodi campak pada LCS seperti Complement fixation, hemagglutination inhibition, immunofluorescence dan ELISA memberikan hasil positif. Diagnosis SSPE bisa ditegakkan dengan ditemukannya RNA virus campak dalam LCS melalui pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction ) 5,6,7,11

Elektroensefalografi ( EEG )

Pada stadium awal penyakit, EEG menunjukan adanya gambaran gelombang lambat yang tidak khas, pada stadium lanjut ditemukan supresión Burst episodes (gelombang lambat amplitudo tinggi dan tajam yang terjadi pada interval 4-6 detik dan diikuti oleh periode singkat gelombang yang datar). Pada stadium lanjut EEG menunjukan gelombang dengan amplitudo tinggi dan disritmia yang lambat, dan pada stadium akhir, amplitudo gelombang menurun. Walaupun sebagian besar memberikan gambaran yang normal, EEG yang abnormal bisa tampak sekitar 4 tahun sebelum gejala klinis muncul.5,6,10,13

Gambar 1. EEG menunjukan gambaran periodik kompleks gelombang lambat yang timbul

pada interval 4-6 detik.1

CT scan

CT scan kurang berperan dalam mendiagnosis SSPE pada stadium awal karena memberikan hasil yang normal. Pada stadium berikutnya CT scan menunjukan gambaran ventrikel yang mengecil serta obliterasi sulkus dan fisura inter hemisfer yang disebabkan edem cerebri yang luas.1,6,10,11

Pada perjalanan kasus yang lama ditemukan gambaran atrofi kortek dan ex vacuo ventriculer dilatation. 1,6,10,11

Magnetic Resonance Imaging (MRI).

MRI lebih sensitif dibandingkan CT scan dalam menentukan adanya kelainan pada otak. Pada pemeriksaan MRI dapat terlihat gambaran abnormal substansi alba dan grisea, gambaran proses inflamasi yang kadang-kadang menyerupai gambaran neoplasma. Bisa ditemukan gambaran hiperintensitas pada lobus parietal dan temporal walaupun demikian, kelainan ini dapat juga ditemukan pada area periventrikuler, substansia alba, korpus kolosum dan ganglia basal, 1,11,14

Terdapat 2 gambaran MRI pada SSPE, gambaran atrofi cerebri dan gambaran hiperintensitas, yaitu area dimana terdapat peningkatan kadar T2-weighted. 1,11

Hasil pemeriksaan MRI yang ditemukan tidak tergantung pada manifestasi klinis penderita, namun demikian pemeriksaan ini berguna untuk mengetahui perjalanan penyakit. 1






Gambar 2. T2-weighted MRI menunjukan demielinisasi difus substansi alba.1


Gambar 3. T2-weighted MRI menunjukan hiperintensitas pada regio occipital.1


Biopsi otak

Biopsi otak jarang digunakan untuk menegakkan diagnosis SSPE. Bila dilakukan biopsi, akan ditemukan gambaran patologis yang khas untuk SSPE yaitu ditemukannya badan inklusi intranuklear pada neuron sel glia .1,9 Dengan pemeriksaan Polymerase Chain Reaction dapat ditemukan area dimana terdapat RNA virus campak. 6

Diagnosis

Diagnosis SSPE ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang. 1

Diagnosis definitif ditegakkan bila memenuhi lebih dari 3 kriteria, mungkin SSPE jika hanya 3 dari 5 kriteria.1

Kriteria Diagnostik Subacute Sclerosing Pan Encephalitis.

1

2

3

4

5

Klinis

E E G

Cairan serebrospinal

Antibodi Campak

Biopsi otak

Progresif, subacute mental deterioration dengan gejala menyerupai mioklonus.

Periodik, stereotip, gambaran high voltage

Peningkatan gammaglobulin atau gambaran oligoklonal

Meningkat dalam serum (> 1:256) dan/atau cairan serebrospinal ( > 1:4 )

Sugestif subacute sclerosing pan encephalitis

Terapi.

Saat ini belum ada pengobatan SSPE yang memuaskan.8,14 Beberapa penelitian menunjukan pemberian obat anti virus dan imunomodulator bisa memperpanjang usia penderita jika diberikan dalam waktu lama. 1

Cukup banyak obat yang dipergunakan dalam pengobatan SSPE, antaralain Amantadine, simetidin, kortikosteroid, interferon α, interferon β, isoprinosin, immuno globulin intravena, ribavirin, pemberian interferon α dan isoprinosin oral merupakan kombinasi yang efektif saat ini., 1,7,15

  1. Isoprinosin ( Inosiplex)

Isoprinosin meningkatkan jumlah sel limfosit CD4+, fungsi killer cell, fungsí interferon, produksi Interleukin-1 dan interleukin-2. Penggunaan obat ini masih kontroversial karena terdapat beberapa penelitian yang memberikan hasil berbeda pula. Isoprinosin diberikan 100 mg/kgbb/hari. Kadar asam urat harus dimonitor karena obat ini menyebabkan hiperurisemia dan meningkatkan resiko pembentukan batu ginjal.1,6,8,10

  1. Interferon α

Pemberian interferon α menekan replikasi virus dan meningkatkan respons imuns tubuh. Interferon α diberikan secara intravena ataupun intraventrikel selama 6 minggu, dimulai 100.000 unit/m2 , maksimal 1.000.000 unit/m2, 5x dalam seminggu, pengobatan ini diulang 6 kali dengan interval 2-6 bulan. Kombinasi isoprinosin oral dan interferon α intraventrikel merupakan terapi yang efektif untuk SSPE.1

Efek samping interferon α seperti demam, letargi, anorexia dan meningitis. Terapi bisa dihentikan sementara jika terdapat peningkatan enzim hati. Pengobatan jangka panjang interferon α intraventrikel meningkatkan resiko timbulnya meningitis, ensefalopati karena obat serta upper and lower motor neuron toxicity. 1,10

  1. Ribavirin

Ribavirin menghambat perkembangan virus campak, pemberian intravena lebih baik dibanding peroral. Beberapa penelitian menunjukan pemberian obat ini bersamaan dengan interferon α intra ventrikel memberikan hasil yang cukup memuaskan. 1,10,15

  1. Obat-obat lain

Amantadin merupakan suatu obat anti RNA yang menghambat maturasi virus

sehingga virus tidak bereplikasi. Obat ini diserap dengan baik dan bisa melewati

barier otak, namun hasil yang didapat masih belum memuaskan.

Simetidin, anti histamin 2 bisa digunakan pada penderita SSPE, pada suatu

penelitian, tidak didapatkan perburukan pada penderita yang diberikan simetidin selama 2 bulan dibanding kelompok kontrol. 1

Pada beberapa penelitian , penggunaan interferon β dengan isoprinosin, imunoglobulin intravena dan kortikosteroid telah dicoba namun memberikan hasil yang bervariasi sehingga belum dijadikan protokol pengobatan.1

  1. Pengobatan simtomatis

Perawatan yang baik merupakan aspek penting dalam mengelola penderita.

Antikonvulsan seperti asam valproat dan klonazepam digunakan untuk mengontrol

mioklonus. Bila ditemukan kekakuan, baclofen dan obat anti spasme lain bisa

digunakan. 1,7,10,11

Prognosis

Subacute Sclerosing Panencephalitis merupakan penyakit yang progresif, kematian biasanya terjadi dalam 1-3 tahun. Sekitar 5% penderita bisa mengalami perbaikan, remisi spontan bisa timbul pada semua stadium penyakit. Beberapa penelitian menunjukan timbul remisi spontan pada penderita SSPE, namun penyebab timbulnya remisi masih belum diketahui, diduga terdapat keseimbangan antara replikasi virus dan respon imun penderita. 1

Penderita SSPE bisa bertahan hidup dalam jangka waktu lama dengan perawatan yang baik, beberapa faktor yang mempengaruhi jangka waktu hidup penderita yaitu usia saat terkena kurang 12 tahun, terdapat perbaikan pada pemeriksaan EEG berkala serta peningkatan titer antibodi campak, namun masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut. 1,6

Daftar Pustaka

1. Garg,R K. Subacute sclerosing panencephalitis. Didapat dari : http:www.

postgradmedj. com. Diakses tanggal 25 Agustus 2006

  1. Dietzman, Dale M.D. Diagnosis of Subacute Sclerosing Panencephalitis by a imple Spinal Fluid Gel Precipitation Test for Measles. Didapat dari http:www.pediatrics.org. Diakses tanggal 30 Agustus 2006.
  2. Mgone C, Mgone,J, Takasu T, et al. Clinical presentation of subacute sclerosing panencephalitis in Papua New Guinea. Tropical Medicine and International Health 2003;8:219-27.
  3. Rammohan K, Mcfarland H, McFarlin. Subacute sclerosing panencephalitis after passive immunization and antural measles infection. Neurology 32:4390-94.
  4. Passat,J. Subacute Sclerosing Panencephalitis. Medika 1994;7:23-8.
  5. Maldonado Y.Viral Infection. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson Textbook of pediatric. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004:h.1030-31.
  6. Chun R. Viral Diseases of the Central Nervous System. Dalam Swaiman K, Wright F, penyunting. The Practice of Pediatric Neurology. Edisi ke-2.ST.Louis: Mosby;1982. h.717-23.
  7. Seay A, De Vivo D. Viral Infections of the Central Nervous System. Dalam: Rudolph C, Rudolph A, Hostetter M, et al, penyunting. Rudolph’s Pediatric. Edisi ke-21. New York: McGraw-Hill; 2001,h. 2310-11
  8. Pusponegoro H, Mangunatmadja I. Penyakit Degeneratif. Dalam Buku Ajar Neurologi Anak . Jakarta;1999:h. 568-70
  9. Campbell C, Levin S, Humphreys. Subacute Sclerosing Panencephalitis : Results of the Canadian paediatric Surveillance Program. BMC Pediatric 2005; 5: 47-50.
  10. Maria B, Bale J. Infections of the Nervous System. Dalam: Menkes J, Sarnat H, Maria B, penyunting, Child Neurology. Edisi 7. Williams & Wilkins 2005. h.500-1.
  11. Glaser H, Chow E, et al. The Changing Carácter of Subacute Sclerosing Panencephalitis. Neurology 2004;63:1489-90
  12. SmithSJM. EEG in Neurological Conditions other than Epilepsy. J.Neurol Neurosurgery Psychiatry 2005;76.
  13. Sener RN. Subacute Sclerosing Panencephalitis Findings at MR Imaging. AJNR Am J Neuroradiol 2004;25:892-4.
  14. Hosoya M, Shigeta S, Mori S. et al. High-Dose Intravenous Ribavirin Therapy for Subacute Sclerosing Panencephalitis. American Society for Microbiology 2001.h.943-5.

Tidak ada komentar: