Minggu, 20 Januari 2008

malnutrisi

Sekarang, bagaimana mungkin, seorang pasien yang dirawat di rumah sakit justru menderita malnutrisi? Jika seseorang menjalani rawat inap di rumah sakit, bukan jaminan pasien itu tidak akan mengalami malnutrisi. Ada beberapa faktor yang dapat mengakibatkan pasien mengalami malnutrisi saat rawat inap. Kondisi pasien malnutrisi di rumah sakit bisa saja terjadi karena sudah malnutrisi saat masuk RS. Atau juga kondisi pasien sewaktu masuk dalam kondisi gizi baik, namun selama perawatan menjadi buruk. Satu contoh sederhana, pasien selama dirawat inap tidak mau makan otomatis gizinya akan memburuk. Entah karena berbagai alasan seperti tidak berselera, menu yang tidak memikat, lingkungan sekitar yang tidak membuat berselera (misalnya, satu ruangan dengan pasien yang kerap batuk berdahak), dan memang pasien itu sendiri mengalami gangguan pencernaan.“Malnutrisi di rumah sakit sebenarnya karena masalah kurang peduli gizi,” ungkap Triyani. Menurut data yang ada, di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 1989 pasien mengalami malnutrisi saat masuk 45.9%. Tak hanya RS Cipto, di RS Sumber Waras Jakarta tahun 1995 pasien yang mengalami malnutrisi saat masuk 42.26%. Sedangkan di RSPAD Gatot Subroto Jakarta tahun 2001 saat masuk, pasien malnutrisi 41.2% dan perlu terapi gizi 78.57%. Data terakhir di RS Hasan Sadikin Bandung 2006 saat masuk pasien malnutrisi 71.8% sampai yang berat mencapai 28.9%Padahal, malnutrisi klinis berdampak langsung pada keberhasilan perawatan pasien di rumah sakit. Malnutrisi klinis dapat berakibat risiko komplikasi infeksi, bertambah lama waktu perawatan di rumah sakit, bahkan sampai menyebabkan kematian.Kelalaian dokter atau rumah sakit?“Malnutrisi yang terjadi selama dirawat di RS sebenarnya iatrogenik (dibuat oleh dokter) dan dapat digolongkan sebagai kelalaian dokter atau RS,” ujar Dr. Sun Sunatrio ketua Asosiasi Nutrisi Enteral dan Parenteral. Lebih lanjut Sunatrio menjelaskan, dampak dari malnutrisi klinis, yakni berakibat fungsi organ tubuh akan berkurang. Obat-obatan pun bekerja tidak secara normal. Berat badan pasien semakin menurun, penyembuhan luka juga terhambat. Kekebalan tubuh akan terganggu sehingga mudah terserang penyakit infeksi. Lama rawat di rumah sakit juga meningkat, angka kematian meningkat, otomatis biaya rumah sakit juga meningkat. Hal ini sangat memberatkan pasien dan keluarganya, sudah sakit masih memikirkan lagi biaya perawatan yang tidak sedikit.Dr. Benny Philipi SpBD, ahli bedah dari FKUI, menambahkan, karena malnutrisi, tubuh akan digerogoti oleh tubuhnya sendiri. Agar mengetahui seseorang malnutrisi atau tidak ada rumusnya yakni dengan mengetahui indeks masa tubuh (lihat inbok). Mewaspadai malnutrisi di rumah sakit menjadi penting karena banyak penelitian menunjukkan bahwa komplikasi 2 sampai 20 kali lebih sering pada pasien malnutrisi daripada pasien dengan gizi baik. Pasien dengan malnutrisi berat akan mengalami komplikasi yang besar. Dan, berisiko mengalami komplikasi besar pascabedah 4 kali lebih tinggi daripada pasien dengan gizi baik.Malnutrisi klinis bisa terjadi juga karena penyakitnya sendiri (karena penyakit yang begitu parah membuat pasien lemah dan kurang gizi), dapat juga karena efek samping terapi atau pembedahan. Keadaan ini makin buruk bila dokter maupun paramedik tidak waspada terhadap keadaan ini. Kekurangan gizi pada pasien bisa saja terjadi pada pasien dengan gizi yang baik, namun karena keadaan trauma berat dan luka bakar gizinya bisa memburuk.Dr Benny menambahkan bahwa, kekurangan gizi pada pasien bedah menyebabkan tingkat mortalitas (kematian) tinggi. Ditandai dengan kandungan albumin dalam darah kurang dari 3g% per 100ml, berat badan turun lebih dari 10 kg, sehingga akan menyebabkan penyulit pasca bedah. Makanan juga obat“Mengatasi malnutrisi rumah sakit butuh kerjasama semua pihak,” ungkap DR. Sunatrio. Pendidikan juga diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan dokter, perawat, dietisien, dan ahli farmasi tentang nutrisi agar sadar pentingnya nutrisi. “Materi pengajaran tentang malnutrisi dirasa masih kurang di Indonesia,”ujarnya. Sehingga perlu dibentuk tim terapi gizi di rumah sakit-rumah sakit. Dan, mengupayakan agar nutrien atau makanan dapat dianggap sebagai obat. Sehingga pasien dapat penggantian biaya oleh pihak ketiga (asuransi kesehatan, dan instansi tempat kerja/ASKES). Biaya makan dipisahkan dari biaya kamar perawatan di rumah sakit (makanan dianggap sebagai obat).Nutrisi kerap kurang diperhatikan dalam proses pengobatan dan sambil lalu saja. “Kelalaian dokter bisa menyebabkan seseorang mengalami malnutrisi,” tegas Sunatrio yang juga pakar anesthesiologi UI ini. Kelalaian dokter bisa terjadi karena ketidaktahuan. Sebab, selama ini dokter dan perawat dalam menjalani pendidikan kurang diberi pengetahuan tentang nutrisi secara mendalam. Sehingga bisa saja seorang pasien ketika masuk dalam kondisi nutrisi yang cukup bagus, bisa saja mengalami malnutrisi ketika menjalani perawatan di rumah sakit. Contohnya, penderita kanker, oleh dokter diberi kemoterapi terus-menerus, namun nutrisinya kurang diperhatikan. Bisa saja ia mengalami malnutrisi. “Hal ini tak hanya terjadi di sini, bahkan di luar negeri,”tandasnya. Di beberapa negara maju, para pasien mengalami malnutrisi akibat perkembangan teknologi pengobatan. Maksudnya, para dokter lebih fokus pada cara-cara pengobatan sehingga kurang memperhatikan nutrisi pasiennya. Agar sadar pentingnya nutrisi, Dr. Benny menyarankan agar dokter dan paramedik mengenali betul potensi pasien malnutrisi di RS. Mengenali pasien yang potensial menjadi malnutrisi di rumah sakit, seperti pasien yang menjalani pembedahan, radiasi atau kemoterapi, termasuk pasien yang kandungan protein dan albumin dalam darahnya rendah, juga mereka yang berat dan tinggi badan kurang. Termasuk pasien yang mengalami infeksi berat. Dari pengalaman Dr. Benny menangani pasien bedah, malnutrisi bagi pasien bedah dapat mengakibatkan infeksi yang parah dan proses penyembuhan yang lama. Cara mengatasinya selain pengobatan yang tepat dilengkapi dukungan nutrisi yang tepat, bisa lewat saluran cerna atau infus (pembuluh vena) jika memang itu jalan satu-satunya. Sekali lagi asupan makanan posisinya sejajar dengan obat. Pengobatan saja tidak cukup jika tidak dibarengi asupan makanan. Karena masa penyembuhan butuh energi yang didapat dari makanan. Triyani yang kesehariannya mengurusi gizi pasien di RSCM, menegaskan bahwa sudah seharusnya paramedik rumah sakit mengetahui indikasi dukungan nutrisi yang tepat untuk pasien tertentu (misalnya pasien pascabedah dengan komplikasi, termasuk pasien kritis di ICU), menentukan kebutuhan kalori, protein dan lemak untuk pasien tersebut. Termasuk memilih metode dukungan nutrisi yang sesuai kondisi pasien, bisa secara parenteral (infus), enteral (lewat saluran cerna) atau kombinasi keduanya. Dari sisi jenis asupan perlu diketahui pula formula yang tepat sehubungan dengan kebutuhan dan jenis penyakit pasien (misalnya pasien diabetes dan ginjal yang perlu asupan nutrisi yang sesuai dengan kondisinya)Sebagai awam, pendamping pasien, termasuk pasien itu sendiri, juga perlu menyadari akan pentingnya nutrisi pada saat penyembuhan. Baik di rumah sakit atau saat rawat jalan. Saran Triyani, bagi pasien yang dirawat inap harus menghabiskan makanan yang telah disediakan RS. Jika menu tidak sesuai bisa dikonsultasikan pada dokter atau perawat. Selanjutnya akan ditindaklanjuti oleh terapi gizi rumah sakit. Tak hanya restoran, rumah sakit juga melayani komplain soal menu, kok. “Tentunya, disesuaikan kondisi rumah sakit bersangkutan,” ujar Triyani. So, mau sakit atau sehat, kita butuh asupan makanan. Jangan sampai tidak!

Tidak ada komentar: