Kamis, 30 Oktober 2008

PATOGENESIS DHF

PATOGENESIS DHF

Infeksi virus Dengue merupakan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk yang paling penting di dunia. Infeksi ini mengenai lebih dari 100 negara tropis, 2,5 milyar penduduk mempunyai risiko untuk terinfeksi virus ini dan diperkirakan 50 juta infeksi terjadi setiap tahunnya. Virus ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes yaitu A. aegypti, A albopictus, A polynesiensis , namun A. aegypti merupakan vektor terpenting, penyakit ini dapat mengenai semua orang dan dapat mengakibatkan kematian terutama pada anak dan penyakit ini sering menimbulkan wabah.



Gambar 1. Distribusi Aedes aegypti dan area epidemik dunia.
Dikutip dari : Malavige GN, Fernando S, Fernando DJ, Seneviratne SL



Manifestasi klinis

Infeksi ini memberikan gambaran klinis yang beragam, mulai dari tanpa gejala (asimptomatik) , demam ringan yang tidak khas (undifferensiated febrile illness) , demam dengue (DD), demam berdarah dengue (DBD) sampai munculan yang berat dan mengancam kehidupan yaitu sindroma syok dengue (SSD) akibat kegagalan sirkulasi.





Infeksi virus Dengue


Asimptomatik Simptomatik



Demam tidak spesifik Demam dengue


Perdarahan (-) Perdarahan (+) Syok (-) Syok (+)
(SSD)
DD DBD

Gambar 2. Spektrum Klinis Infeksi virus dengue
Dikutip dari : Sumarmo PS


Karakteristik virus dengue
Virus dengue merupakan rantai tunggal RNA yang termasuk dalam famili flaviviridae. Berdasarkan kriteria biologi dan imunologi terdapat 4 serotipe yaitu DEN 1, DEN 2, DEN3, dan DEN 4. Virus dengue terdiri dari 3 struktur protein yaitu Core (C),Membrane(M) dan Envelope (E) dan protein Non-Structural ( NS1, NS2a, NS2b, NS3, NS4a, NS4b dan NS5). Protein envelope berperan penting dalam fungsi biologis virus ini. Protein tersebut akan berikatan dengan reseptor pada sel, sehingga virus bisa masuk kedalam sel, menimbulkan hemaglutinasi eritrosit serta merangsang neutralizing antibody dan respons imun protektif.

Patofisiologi
Patofisiologi primer DBD dan SSD adalah peningkatan akut permeabilitas vaskuler sehingga terjadi kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler yang menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Volume plasma menurun lebih dari 20% pada kasus-kasus berat(6). Pada vaskuler tidak ditemukan lesi destruktif yang menunjukkan bahwa peningkatan permeabilitas vaskuler ini merupakan perubahan sementara fungsi vaskuler akibat adanya mediator kerja singkat. Jika penderita sudah stabil dan mulai sembuh, cairan ekstravasasi diabsorbsi dengan cepat kembali ke dalam vaskuler, menimbulkan penurunan hematokrit.
Perubahan hemostasis pada DBD dan SSD melibatkan 3 faktor: perubahan vaskuler, trombositopeni dan kelainan koagulasi. Hampir semua penderita DBD mengalami peningkatan fragilitas vaskuler dan trombositopeni, dan banyak diantaranya penderita menunjukkan koagulogram yang abnormal.
Walaupun DD dan DBD disebabkan oleh virus yang sama, tapi mekanisme patofisiologisnya berbeda sehingga menyebabkan perbedaan klinis. Perbedaan yang utama adalah pada DBD terjadi peningkatan permeabilitas vaskuler yang mengakibatkan kebocoran plasma yang apabila berat dapat menyebabkan renjatan (SSD). Kebocoran plasma ini diduga karena proses imunologi, sedangkan pada DD hal ini tidak terjadi.(6)

Patogenesis

Infeksi dengue bisa disebabkan oleh beberapa jenis serotipe virus DEN, setelah terinfeksi oleh salah satu serotipe virus, tubuh akan membentuk kekebalan terhadap serotipe tersebut, namun tidak terhadap jenis serotipe lain, sehingga jika tubuh terinfeksi lagi oleh jenis serotipe lain (secondary infection), bisa menimbulkan infeksi yang lebih berat. Hal ini disebabkan adanya antibody dependent enhancement, dimana tubuh akan menghancurkan serotipe pertama disamping membentuk antibodi non netralisasi yang justru akan mempermudah sel terinfeksi oleh virus, sehingga melepaskan sitokin yang bersifat vasoaktif atau prokoagulasi, seperti IL-1 IL-6, TNF α dan Platelet Activating Factor (PAF). Bahan- bahan mediator tersebut akan mempengaruhi sel-sel endotel dinding pembuluh darah dan sistem hemostatik yang akan mengakibatkan kebocoran plasma dan perdarahan. Namun demikian, hanya 2-4% penderita secondary infection akan mengalami infeksi yang berat, belum diketahui kenapa hal ini bisa terjadi.
Setelah virus masuk kedalam tubuh, virus akan berkembang biak dalam sel makrofag, monosit dan sel B, virus juga bisa menginfeksi sel mast, sel dendritik dan sel endotel. Manifestasi klinis DD timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus. Viremia terjadi selama 2 hari sebelum timbul gejala dan berakhir setelah lima hari gejala demam mulai. Makrofag akan segera bereaksi dengan menangkap virus dan memprosesnya sehingga makrofag menjadi Antigen Presenting Cell (APC) .

Sistim respon imun

Setelah virus dengue masuk dalam tubuh manusia, virus berkembang biak dalam sel retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti dengan viremia yang berlangsung 5-7 hari. Akibat infeksi virus ini muncul respon imun baik humoral maupun selular, antara lain neutralizing antibody, hemaglutination dan complement fixation antibody.(5). Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, pada infeksi dengue primer antibodi mulai terbentuk, dan pada infeksi sekunder kadar antibodi yang telah ada meningkat (booster effect).


Gambar 3.. Respon Imun Infeksi Virus dengue.
Dikutip dari: Suroso, Torry C. Panbio

Antibodi terhadap virus Dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai Dengan ketiga, dan menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-14 sedang pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari kedua. Oleh karena itu diagnosa dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari sakit kelima, diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibodi IgG dan IgM yang cepat.(8)
Secara in vitro antibodi terhadap virus DEN mempunyai 4 fungsi biologis: netralisasi virus; sitolisis komplemen; Antibody Dependent Cell-mediated Cytotoxity (ADCC) dan Antibody Dependent Enhancement. (9)
Virion dari virus DEN ekstraseluler terdiri atas protein C (capsid), M (membrane) dan E (envelope), sedang virus intraseluler mempunyai protein pre-membran atau pre-M.
Glikoprotein E merupakan epitop penting karena mampu membangkitkan antibodi spesifik untuk proses netralisasi, mempunyai aktifitas hemaglutinin, berperan dalam proses absorbsi pada permukaan sel, (reseptor binding), mempunyai fungsi biologis antara lain untuk fusi membran dan perakitan virion.
Antibodi memiliki aktifitas netralisasi dan mengenali protein E yang berperan sebagai epitop yang memiliki serotip spesifik, serotipe-cross reaktif atau flavivirus-cross reaktif. Antibodi netralisasi ini memberikan proteksi terhadap infeksi virus DEN. Antibodi monoklonal terhadap NS1 dari komplemen virus DEN dan antibodi poliklonal yang ditimbulkan dari imunisasi dengan NS1 mengakibatkan lisis sel yang terinfeksi virus DEN.
Antibodi terhadap virus DEN secara in vivo dapat berperan pada dua hal yang berbeda : (9)
a. Antibodi netralisasi atau “neutralizing antibodies” memiliki serotipe spesifik yang
dapat mencegah infeksi virus.
b. Antibodi non netralising serotipe memiliki peran cross-reaktif dan dapat meningkatkan
infeksi .


Teori respon imun :
Pada infeksi pertama terjadi antibodi yang memiliki aktifitas netralisasi yang mengenali protein E dan monoklonal antibodi terhadap NS1, Pre M dan NS3 dari virus, akibatnya terjadi lisis sel yang telah terinfeksi virus tersebut melalui aktifitas netralisasi atau aktivasi komplemen, sehingga virus dilenyapkan dan penderita mengalami penyembuhan, selanjutnya terjadilah kekebalan seumur hidup terhadap serotipe virus tersebut, jika terjadi infeksi kedua dengan serotipe virus yang berbeda maka antibodi yang telah ada di hospes tidak sesuai dengan epitop virus yang masuk (non- netralisasi). Antibodi non-netralisasi ini memiliki sifat memacu replikasi virus dan keadaan penderita menjadi lebih berat.
Pada infeksi kedua yang dipicu oleh virus Dengue dengan serotipe yang berbeda terjadilah proses berikut : Virus Dengue tersebut berperan sebagai super antigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag. Makrofag ini menampilkan APC. Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari Mayor Histocompatibility Complex (MHC II).
Antigen yang bermuatan peptida MHC II akan berikatan dengan CD4+ (TH-1 dan TH-2) dengan perantaraan T Cell Receptor (TCR) sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap infeksi tersebut, maka limfosit T akan mengeluarkan substansi dari TH-1 yang berfungsi sebagai imuno modulator yaitu INF γ, IL-2 dan Colony Stimulating Factor (CSF).(9,10) Dimana IFN γ akan merangsang makrofag untuk mengeluarkan IL-1 dan TNF α . IL-1 sebagai mayor imunomodulator yang juga mempunyai efek pada sel endotel, termasuk didalamnya pembentukan prostaglandin dan merangsang ekspresi Intercellular Adhesion Moleculer 1 (ICAM 1).






Gambar 4. Patogenesis demam berdarah dengue
Dikutip dari : Clyde K, Kyle JL, Harris E

Selanjutnya CSF akan merangsang netrofil, oleh pengaruh ICAM 1 netrofil yang telah terangsang oleh CSF lebih mudah mengadakan adhesi. Netrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisozim yang akan menyebabkan dinding endotel lisis dan akibatnya endotel terbuka. Netrofil juga membawa superoksid, yang termasuk dalam radikal bebas, yang akan mempengaruhi oksigenasi pada mitokondria dan siklus GMPs. Akibatnya endotel menjadi nekrosis, sehingga terjadi gangguan vaskuler dan terjadi syok.
Antigen yang bermuatan MHC II akan diekspresikan dipermukaan virus sehingga dikenali oleh limfosit T CD8+, limfosit T akan teraktivasi dan berubah sifat menjadi sitolitik, sehingga semua sel yang mengandung virus dihancurkan, limfosit T juga mensekresi IFN γ dan TNF α..


Di dalam tubuh manusia, virus berkembang biak dalam sistim retikuloendotelial tapi sel Kuffer hepar dan sel endotel juga dapat terkena. Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multiplikasi di dalam sel tersebut. Infeksi virus Dengue dimulai dengan menempelnya virus genomnya masuk ke dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk komponen-komponennya, baik komponen perantara maupun komponen struktural virus. Setelah komponen struktural dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Proses perkembangan biakan virus DEN terjadi di sitoplasma sel.
Semua flavivirus memiliki kelompok epitop pada selubung protein yang menimbulkan reaksi silang pada uji serologis, hal ini menyebabkan diagnosis pasti dengan uji serologi sulit ditegakkan. Kesulitan ini dapat terjadi diantara ke empat serotipe virus DEN. Infeksi oleh satu serotipe virus DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap serotip virus tersebut, tetapi tidak ada reaksi silang terhadap serotip virus yang lain. (9,15,16)
Virus beredar dalam darah perifer, di dalam sel monosit/makrofag, sel limfosit B dan sel limfosit T. Makrofag dan sel monosit yang telah memfagosit virus ini akan menjadi APC.Antigen yang menempel di makrofag ini akan mengaktivasi sel T-Helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak lagi virus. T-helper akan mengaktifkan sel T-sitotoksik yang akan melisis makrofag yang sudah memfagosit virus, juga menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus,Sel B juga akan diaktifkan dan akan melepaskan antibodi. Ada 3 jenis antibodi yang telah dikenali yaitu neutralizing antibody, haemagglutination dan complement fixation antibody.(6)
Kemudian terjadi regulasi ekspresi CD8, kostimulator lainnya serta molekul HLADR untuk mempresentasikannya ke sel T sehingga dimulailah aktivasi sistim imun dan dilepaskannya kaskade sitokin yang menimbulkan efek sistemik yaitu kebocoran plasma dan gangguan sirkulasi. Sejumlah sitokin dilepaskan, termasuk TNF-α dan IFN-γ yang mempunyai peranan spesifik dalam patogenesis. TNF-α dan IFN-γ juga mengakibatkan aktivasi sel dentrit yang terinfeksi dan sel dentrit yang tidak terinfeksi. Secara bersamaan juga terjadi pelepasan IL-12P70 dalam kadar rendah, yaitu suatu sitokin kunci dalam perkembangan cell mediated immunity (CMI). Interferon-γ pada tingkat ini menyebabkan peningkatan sistesis IL-12P70. Ini mungkin merupakan mekanisme regulasi untuk mencegah potensi yang membahayakan respon imun dini dari Th1 pada patogenesis infeksi akut virus Dengue tanpa keterlibatan pengenalan sitokin.
Pada infeksi kedua virus Dengue, sel T memori akan menghasilkan IFN- γ dan CD 40L sehingga mengaktifkan sel dentrit sehingga terjadi stimulasi sel T dan pelepasan sitokin khususnya IL-12P70. Virus bisa tidak ditemukan lagi dalam darah, tetapi kaskade yang telah dimulai ini serta buruknya kontrol respon sitokin tipe 1 berperan pada patogenesis DHF/SSD. Beberapa studi memperlihatkan kadar TNF-α, reseptor TNF- α soluble dan IFN-γ lebih tinggi pada pasien DBD/SSD dibanding pada pasien DD.
.

Gambar 5. Respons imun infeksi virus dengue
Dikutip dari CDC


Imunopatogenesis DBD dan SSD masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang digunakan untuk menjelaskan perubahan patogenesis pada DBD dan SSD yaitu hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) dan hipotesis antibody dependent enhancement ( ADE ). Teori infeksi sekunder menyebutkan bahwa apabila seseorang mendapatkan infeksi pertama kali (primer) dengan satu jenis virus, akan terjadi proses kekebalan terhadap jenis virus tersebut (homolog) untuk jangka waktu yang lama. Perhatikan Gambar 6.a










a b c

Gambar 6. Imunopatogenesis berdasarkan teori infeksi sekunder.
Dikutip dari CDC

Jika orang tersebut mendapatkan infeksi kedua (sekunder) dengan jenis serotipe virus yang lain, maka terjadi infeksi yang berat, karena pada infeksi berikutnya antibodi heterologous yang telah terbentuk dari infeksi primer akan membentuk kompleks dengan infeksi virus Dengue baru dari serotipe berbeda; namun tidak dapat dinetralisasi virus baru bahkan membentuk kompleks yang infeksius.Gambar 6.b.


Akibat adanya infeksi sekunder oleh virus yang heterolog (virus Dengan serotipe lain atau virus lain) karena adanya non neutralising antibody maka partikel virus DEN dan molekul antibodi IgG membentuk kompleks virus-antibodi dan ikatan antara kompleks tersebut dengan reseptor Fc γ pada sel melalui bagian Fc dari IgG menimbulkan peningkatan (enhancement) infeksi virus DEN. Kompleks virus-antibodi ini akan meliputi sel makrofag yang beredar dan antibodi tersebut akan bersifat opsonisasi, internalisasi sehingga makrofag mudah terinfeksi sehingga akan teraktivasi dan akan memproduksi IL-1, IL-6 dan TNF α dan juga “Platelet Activating Faktor” (PAF). Karena antibodi yang terbentuk ini bersifat heterolog, maka virus tidak dapat di netralisasi tetapi sebaliknya bebas bereplikasi di dalam makrofag. Gambar 6.c.

TNF α baik yang terangsang IFN γ maupun dari makrofag teraktivasi antigen antibodi kompleks, dan selanjutnya akan menyebabkan kebocoran dinding pembuluh darah, merembesnya cairan plasma ke jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan endotel pembuluh darah yang mekanismenya sampai saat ini belum jelas, yang selanjutnya akan mengakibatkan syok.(11)
Virus-Ab kompleks (kompleks imun) yang terbentuk akan merangsang komplemen, yang farmakologis cepat dan pendek. Bahan ini bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga menimbulkan kebocoran plasma (syok hipovolemik) dan perdarahan. (12)
Pada anak yang lahir dari ibu dengan riwayat pernah terinfeksi virus DEN, terjadi infeksi virus dari ibu ke anak maka dalam tubuh anak tersebut telah terjadi “Non Neutralizing Antibodies” akibat adanya infeksi yang persisten, sehingga jika anak terinfeksi pertama kali, dalam tubuh anak tersebut sudah terjadi proses “Enhancing” yang akan memacu makrofag sehingga mudah terinfeksi dan teraktivasi dan akan mengeluarkan IL-1, IL-6 dan TNF α juga PAF. Bahan-bahan mediator tersebut akan mempengaruhi sel-sel endotel dinding pembuluh darah dan sistem hemostatik yang akan mengakibatkan kebocoran plasma dan perdarahan.(12,13,14)



Gambar 7. Teori Enhancing Antibody
Dikutip dari : CDC



Pada teori kedua, antibody dependent enhancement (ADE), menerangkan tiga hal yaitu antibodies enhance infection, T-cells enhance infection serta limfosit T dan monosit yang akan melepaskan sitokin yang berperan terhadap terjadinya DBD dan SSD. Secara umum ADE dapat dijelaskan, jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis virus tertentu, maka antibodi tersebut dapat mencegah penyakit, tetapi sebaliknya apabila antibodi yang terdapat dalam tubuh merupakan antibodi yang tidak dapat menetralisasi virus, justru dapat menimbulkan penyakit yang berat.
Kinetik dari kelas imunoglobulin spesifik terhadap virus Dengue di dalam serum pasien DD, DBD dan SSD ternyata didominasi oleh IgM, IgG1 dan IgG3, sedangkan IgA level tertinggi dijumpai pada fase akut dari SSD. Dikatakan pula bahwa IgA, IgG1 dan IgG4 dapat digunakan sebagai marker dari risiko berkembangnya DBD dan SSD, oleh karenanya pengukuran kadar imunoglobulin tersebut sejak awal pengobatan dapat membantu mengetahui perkembangan penyakit.(17)
Selain teori-teori tersebut masih ada teori lain tentang patogenesis DBD, seperti teori virulensi virus yang mendasarkan pada perbedaan serotipe virus Dengue DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang kesemuanya dapat ditemukan pada kasus-kasus yang fatal, tetapi berbeda antara daerah yang satu dengan yang lain. Teori antigen-antibodi, teori ini berdasarkan kenyataan bahwa pada penderita DBD terjadi penurunan aktivitas sistem komplemen yang ditandai dengan penurunan dari kadar C3, C4 dan C5. Disamping itu 48-72% penderita DBD terbentuk kompleks imun antara IgG dengan virus Dengue, selanjutnya kompleks imun tersebut menempel pada trombosit, sel B, dan sel-sel dalam organ tubuh lain. Terbentuknya kompleks imun tersebut akan mempengaruhi aktivitas komponen sistem imun yang lain. Teori mediator, dimana makrofag yang terinfeksi virus Dengue akan melepas berbagai mediator seperti interferon, IL-1, IL-6, IL-12, TNF dll. Diperkirakan mediator dan endotoksin bertanggung jawab atas terjadinya syok septik, demam dan peningkatan permeabilitas kapiler.(18)
















Gambar 8. Teori mediator dalam patogenesis DBD.
Dikutip dari : CDC

Pada infeksi virus Dengue, viremia terjadi sangat cepat, hanya berselang beberapa hari dapat terjadi infeksi di beberapa tempat, akan tetapi derajat kerusakan jaringan (tissue destruction) yang ditimbulkan tidak cukup untuk menjadikan penyebab kematian dari infeksi virus tersebut melainkan lebih disebabkan oleh gangguan metabolik.
Replikasi virus di dalam sel menyebabkan terjadinya stres sel sampai kematian sel apoptotik. Peristiwa apoptosis dan aktivasi sel-sel fagosit dapat menimbulkan jejas jaringan lokal (local tissue injury) atau ketidakseimbangan homeostasis dan selanjutnya memicu efek yang lain.





Gambar 9. Teori Apoptosis sel


Sistem HLA/MHC berperan dalam regulasi respons imun, berupa proses pengenalan antigen, yang berlanjut pada proses aktivasi sistem imun dan proses sitotoksisitas antigen berdasarkan ekspresi molekul HLA/MHC kelas I (lokus A,B,C) dan kelas II (lokus D/DR,DQ,DP). Penelitian oleh Azaredo EL dkk, 2001 membuktikan bahwa patogenesis DBD/SSD umumnya disebabkan oleh disregulasi respon imunologik. Monosit/makrofag yang terinfeksi virus Dengue akan mensekresi monokin yang berperan dalam proses patogenesis dan gambaran klinis DBD/SSD.
Pada penelitian invitro oleh Ho LJ dkk 2001, ternyata sel dendritik yang terinfeksi virus Dengue dapat mengekspresi antigen HLA B7-1, B7-2, HLA-DR, CD11b dan CD83. DC yang terinfeksi virus Dengue ini sanggup memproduksi TNF- dan IFN-, namun tidak mensekresi IL-6 dan IL-12. Oberholzer dkk, 2002, menjelaskan bahwa IL-10 dapat menekan proliferasi sel T.Jadi IL-10 sebagai sitokin proinflamasi tampaknya berperan dalam respons imun yang diperantarai limfosit Th1.


Gambar 10. Teori Dendritik Sel.



Pada infeksi fase akut terjadi penurunan dari populasi limfosit CD2+ dan berbagai subsetnya CD4+ dan CD8+. Juga terjadi penurunan respon proliferatif dari sel-sel mononuklear baik terhadap rangsangan mitogen maupun antigen virus Dengue, sebaliknya pada fase konvalesen respon proliferatif kembali normal. Terjadi peningkatan konsentrasi IFN-, TNF-, IL-10 dan reseptor TNF terlarut di dalam plasma pasien DBD/SSD. Peningkatan TNF- berkorelasi dengan manifestasi hemoragik, sedangkan kenaikan IL-10 berhubungan Dengan platelet decay. Disimpulkan bahwa pada infeksi virus Dengue fase akut terjadi penekanan jumlah maupun fungsi dari limfosit T, sedangkan sitokin proinflamasi TNF- berperan penting dalam severity dan patogenesis DBD/SSD, begitu juga meningkatnya IL-10 akan menurunkan fungsi limfosit T dan fungsi trombosit.
Hipotesis tentang patogenesis DBD/SSD seperti antibody-dependent enhancement, virus virulence dan imunopatogenesis yang diprakarsai oleh IFN-/TNF- dianggap belum cukup untuk menjawab terjadinya trombositopenia dan hemokonsentrasi pada DBD/SSD. Menurut Lei HY dkk, 2001, infeksi virus Dengue akan mempengaruhi sistem imun tubuh berupa perubahan dari rasio CD4/CD8, overproduksi dari sitokin dan dapat menginfeksi sel-sel endotel dan hepatosit, dengan akibat terjadinya apoptosis serta disfungsi dari sel-sel tersebut. Begitu juga sistem koagulasi dan fibrinolisis ikut teraktivasi selama infeksi virus Dengue. Gangguan terhadap respon imun tidak hanya berupa gangguan dalam pembersihan virus dari dalam tubuh, akan tetapi over produksi sitokin dapat mempengaruhi sel-sel endotel, monosit dan hepatosit. Kerusakan trombosit akibat dari reaksi silang autoantibodi anti-trombosit, karena overproduksi IL-6 yang berperan besar dalam terbentuknya autoantibodi anti-trombosit dan anti-sel endotel, serta meningkatnya level dari tPA dan defisiensi koagulasi.
Disimpulkan bahwa penyebab dari kebocoran plasma yang khas terjadi pada pasien DBD/SSD disebabkan oleh ; aktivasi komplemen, induksi kemokin dan kematian sel apoptotik.(19) . Diduga peningkatan sintesis IL-8 berperan penting dalam terjadinya kebocoran plasma pada pasien DBD dan SSD. Hal ini dapat dilihat dalam serum pasien DBD/SSD berat terjadi peningkatan level IL-8

Rangkuman

Pola penyakit virus dengue bervariasi mulai demam yang tidak spesifik, demam Dengue Dengan/tanpa perdarahan dan demam berdarah Dengue Dengan/tanpa syok. Hal ini bertumpu pada interaksi penyebab, penjamu dan lingkungan dan berbagai faktor yang berperan, selanjutnya beberapa kasus menunjukkan manifestasi klinis sebagai tampilan respon imun primer dan sekunder berdasarkan temuan rasio IgM/IgG yang diperoleh dari tes serologi.
Kejadian syok pada penderita demam berdarah dengue dapat terjadi karena kebocoran plasma dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan ikat disekitarnya . Hal ini dapat dijelaskan dengan teori reaksi antigen antibodi, dimana kompleks antibodi dan antigen virus akan merangsang sistem imun menghasilkan bahan anafilatoksin atau bahan serupa histamin sehingga terjadi peningkatan permeabilitas dinding vaskuler dan kebocoran plasma.
Kasus demam berdarah Dengue dapat juga menunjukkan manifestasi yang berat hal ini dapat dijelaskan sebagai akibat ADE dan mungkin sebagai akibat keganasan virus Dengue yang langsung berpotensi menimbulkan apoptosis. Virus Dengue yang ganas berpotensi besar menyerang sel retikuloendotelial sistem termasuk organ hati dan sel endotel, akibatnya hati meradang, membengkak dan faal hati terganggu dan berlanjut dengan kejadian perdarahan yang hebat disertai kesadaran menurun dan menunjukkan manifestasi ensefalopati.



Daftar Pustaka

1.Malavige GN, Fernando S, Fernando DJ, Seneviratne SL, (2004). Dengue viral infection.Postgrad Med J 2004;80:588-601.
2.Stevanus Lawuyan, (1996). DBD di Kotamadya Surabaya. Diajukan pada seminar sehari DBD di TDRC FK Unair Surabaya 28 Oktober.
3.Sumarmo PS, ( 1999 ). Masalah demam berdarah Dengue di Indonesia. Dalam: Sri Rezeki HH, Hindra IS. Demam berdarah Dengue. Naskah lengkap. Pelatihan bagi pelatih dokter spesialis anak & dokter spesialis penyakit dalam dalam tatalaksana kasus DBD. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 1-12.
4.DarwisD, ( 1999 ). Kegawatan Demam Berdarah Dengue pada anak. Dalam: Sri Rezeki HH, Hindra IS. Demam berdarah Dengue. Naskah lengkap. Pelatihan bagi pelatih dokter spesialis anak & dokter spesialis penyakit dalam dalam tatalaksana kasus DBD. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 1-12.
5.Emery AEH, ( 1988). Immunogenetics. In : Elements of Medical Genetics.Edited by Emery AEH, Muller R. 7th ed. Churchill-Livingstone. Edinburgh.: 88-106.
6.Harikushartono, Hidayah N, Darmowandowo W,Soegijanto S, (2002), Demam Berdarah Dengue: Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa dan Penatalaksanaan, Jakarta, Penerbit Salemba Medika.
7.Gubler D.J, (1998). The Global pandemic of Dengue/Dengue Haemorrhagic Fever current status and prospects for the future. Dengue in Singapore. Technical Monograph Series no:2 WHO.
8.Gubler DJ et al, (1994): Infect Agents Dis. 2: 383.
9.Howarth MC, Miyajima A, Coffman R, (1994). Sitokins Paul Fundamental Imunology. Third Edition: 763-790.
10.Oppenheim J.J et al, (1995). Sitokins Basic and Clinical Immunology. Seven edition. 78-98.
11.Cohen J, (1996). Sepsis Syndrome. In Journal of Medical Int. 355: 10-31.
12.Sowandoyo E, (1998). Demam Berdarah Dengue pada Orang Dewasa, Gejala Klinik dan Penatalaksanaannya. Makalah Seminar Demam Berdarah Dengue di Indonesia. RS.Sumber Waras Jakarta.
13.Wang S, He R, Patarapotikul, J et al, (1995). Antibody-Enhanced Binding of Dengue Virus to Human Platelets. J.Virology. October 213: page:1254-1257.
14.Kurane I, Ennis E Francis, (1992). Immunity and immunopathologi in Dengue virus infections. Seminars in Imunology., vol.4;121-127.
15.Khana M, Chaturvedi UC, Sharma MC, Pandey VC, Mathur A, (1990). Increased Capillary permeability Mediated by A Dengue Virus Induced Limphokine. Immunology Mart, 69;33 : 449-53.
16.Koraka P, Suharti C, Setiati TE, Mairuhu AT, Van Gorp E, Hack CE, Juffrie M, Sutarjo J, Van Der Meer GM, Groen J, Osterhaus AD, ( 2001 ). Kinetics of Dengue virus-specific immunoglobulin classes and subclasses correlate with clinical outcome of infection. J Clin Microbiol 39: 4332-4338.
17.Soegijanto S, ( 2003 ). Prospek Pemanfaatan Vaksin Dengue untuk menurunkan prevalensi di masyarakat. Dipresentasikan di Peringatan 90 tahun Pendidikan Dokter di FK Unair.Surabaya.
18.Avirutnan P, Malasit P, Seliger B, Bhakdi S, Husmann M, ( 1998 ). Dengue virus infection of human endothelial cells leads to chemokin production, complemen activation, and apoptosis. J Immunol 161: 6338-6346.
19.Klein J, ( 1986 ). The population. In : Natural History of the MHC. Edited by Allan
Mc Gregor. MTP
20.Clyde K, Kyle J, Harris E. Recent advances in defiphering viral and host determinants
of dengue virus replication and pathogenesis. Jvi.asm 2006;80:11418-31.

PEMANTAUAN JANGKA PANJANG BBLR DENGAN PREMATURIES

PEMANTAUAN JANGKA PANJANG BBLR DENGAN PREMATURIES

Pendahuluan
Angka kejadian bayi prematur di Indonesia, masih cukup tinggi dan merupakan bagian terbesar dari kelompok bayi dengan berat lahir rendah (BBLR). Angka kejadian BBLR di Indonesia adalah sekitar 17-20 %. Di RSCM, angka kejadian BBLR pada tahun 1998 adalah 17,8 %, sedangkan di RS. Dr. M. Djamil Padang pada tahun 1997 didapatkan bayi 12,6 %.
Bayi prematur termasuk dalam kelompok bayi resiko tinggi yang memerlukan pemantulan tumbuh kembang secara berkala dan terus menerus. Masalah medis yang mungkin timbul adalah gangguan pertumbuhan, gangguan perkembangan seperti palsi serebral, retardasi menta, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan seperti retinopati prematuritas, gangguan perilaku serta gangguan belajar. Makin kecil masa gestasi, makin besar resiko terjadinya gangguan tumbuh kembang.
Agar perkembangan bayi menjadi optimal, perlu diberikan intervensi berupa stimulasi dini. Berbagai program intervensi telah dijalankan untuk bayi permatur, untuk memperbaiki interaksi orang tua dan anak serta memperbaiki perkembangan neurologis. Penyajian kasus ini bertujuan untuk mengetahui tentang tumbuh kembang seorang bayi BBLR dengan prematuritas dan berbagai aspek yang mempengaruhinya, seperti asuh, asih, asah serta lingkungan ( mikro, mini dan meso).

Kasus
Seorang neonatus laki-laki, usia 3 jam, dikirim dari RS Bersalin ke bagian perinatologi patologi RS. Dr. M. Djamil pada tanggal 14 Oktober 2003, dengan diagnosis BBLR 1200 gram, lahir spontan. Nilai Apgar 4 pada menit pertama dari 6 pada menit kelima. Bayi tampak sesak nafas sejak usia setengah jam, merintih dan sianosis. Belum pernah diberi minum sebelumnya.



Riwayat Kehamilan / Persalinan
Hari pertama haid terakhir ibu (HPHT) tidak diketahui. Selama hamil ibu kontrol teratur ke SpOG. Pada b u lan kehamilan ibu mengeluh keluar bercak-bercak kecoklatan terus menerus selama 2 minggu dan diberi obat oleh SpOG. Perdara han terus berlangsung sampai usia kehamilan 3 bulan. Kualitas dan kuantitas makanan selama hamil cukup baik. Ib u hanya minum obat-obatan yang dianjurkan dokter.

Tiga hari sebelum melahirkan, ketuban pecah dan ibu dirawat di rumah sakit. Selama perawatan ibu mendapatkan terapi antibiotik dan kortikosteriod. Hari ke empat perawatan, ibu mendapatkan terapi antibiotik dan kortikosteroid. Hari ke mpat perawatan, ibu melahirkan spontan, air ketuban tinggal sedikit, jernih.

Riwayat Sosial / Ekononomi
Pasien merupakan anak kedua dari ibu berusia 26 tahun, pendidikan sarjana (hukum), tidak bekerja dan ayah berusia 28 tahun, pendidikan SMA. Polisi. Penghasilan ayah lebih kurang Rp. 1.500.000,- per bulan. Anak pertama juga lahir spontan (tahun 2002), prematur 1200 gram, meninggal pada usia 1 mingu.

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : sakit berat, bai yang kurang aktif, merintih dan sianosis
Frekuensi jantung : 140 x/menit, nafas 66 x/menit, suhu 35 0C
Berat badan : 1200 gram, panjang badan : 41 cm
Bentuk kepala normal, ubun-ubun besar 1,5 x 1,5 cm, ubun-ubun kecil 0,5 x 0,5 cm.
Mata : tidak ada kelainan
Teliga : terdapat pelipatan pada sebagian tepi pinna. Pinna lembek, mudah dilipat, rekoil pelan.
Hidung : ditemukan nafas cuping hidung
Mulut : sianosis pada sirkum – oral dan mukosa
Leher : tidak ada kelainan
Toraks : no rmochest, simetris, terdapat retraksi di epigastrium dan interkostal. Puting terlihat samar-samar, tanpa areola. Teraba jaringan mammae di kanan, diameter < 0.5 cm.
Jantung : irama teratus, bising tidak ada
Paru : suara nafas bronkovesikuler, lendir / ronki tidak ada
Abdomen : datar, terlihat vena dan cabang-cabangnya di dinding abdomen. Perabaan supel, hepar teraba ¼ - ¼, lien tidak teraba. Tali pusat segar, warna putih, mengkilap, umbilikus normal.
Genitalia : tidak ditemukan kelainan. Pada ½ anterior telapak kaki terlihat garis merah yang samar-samar. Edema tidak ada
Kulit : tipis dan licin
Anus : positif
Tulang-tulang : tidak ditemukan kelainan
Refleks neonatal ;
Moro : Negatif - Isap : Negatif
Rootinng : Negatif - Pegang : Negatif
Ukuran :
Lingkaran kepala : 28 cm
Lingkaran dada : 27 cm
Lingkaran perut : 26 cm
Simpisis kaki : 13 cm
Panjang lengan : 12 cm
Panjang kaki : 15 cm
Kepala simpisis : 28 cm
Kriteria ballard : 11, Dubowitz : 11 (setelah umur 24 jam)
Taksiran maturitas : 30-31 minggu, sesuai dengan masa kehamilan pada kurva Battaglia dan Lubchenco

Pemeriksaan laboratorium :
Hb : 16,2 g %
Leukosit : 13.000 / mm3
Hitung jenis : 0/2/2/51/30/15
Gula darah random : 92 mg %
Diagnosis :
Neonatus BBLSR 1200 g, lahir spontan
Ibu baik
Ketuban pecah dini (> 18 jam), sisa ketuban jernih
Taksiran maturitas 30-31 minggu
Nilai Apgar 4/6 (asf iksia sedang – partus luar)
Jejas persalinan tidak ada
Kelainan kongenital : undesensus testis sinistra
Sindrom gawat nafas e.c sups HMD DD / - bronkopneumonia
- timus hiperplasia
Hipotermia
Hipotermia teratasi setelah 3 jam perawatan (t : 36,8 0C)
Foto toraks : kedua paru berkembang cukup baik, infiltrat diperihiler dan para kardial ke 2 paru. Tidak jelas gambaran HMD
Kesan : Bronkopneumonia

Pemantauan
Hari pertama sampai hari ketiga pasien masih dipuaskan dan diberikan nutrisi parenteral (aminofusin 25 cc pada hari ketiga), berat badan turun 50 gr pada hari kedua sampai empat dan kembali menjadi 1200 gr pada hari kelima. Sesak nafas berkurang pada hari ketiga. Cairan intravena dihentikan pada hari kelima, oksigen dan antibiotik pada hari ketujuh. Pemberian ASI dimulai pada hari keempat melalui sonde oral sebanyak 10 x 5 cc, jumlahnya dinaikkan secara bertahap 2-3 cc/kali minum sampai mencapai 200 cc/kg/BB/hari pada hari ke 12. selama pemberian ASI, tidak ditemui dilatih pada intoleransi. ASI mulai disendokkan pada hari ke-20 dan refleks isap mulai dilatih pada hari ke-22. pada hari ke-22 juga mulai diajarkan metode kangguru kepada ibu. Ibu bisa melakukannya selam 3-6 jam/hari. Disamping itu, ibu juga dianjurkan untuk memula i memijat bayinya sebagai upaya untuk memberikan rangsangan taktil dan stimulasi fisik terhadap bayi. Hari ke-24, isapan mulai kuat dan ASI diberikan langsung.
Lendir banyak disaluran nafas. Dilakukan pembersihan jalan nafas, pemasangan infus, pemberian antibiotik dan oksigen. Foto toraks (ulangan) memperlihatkan adanya infiltrat di perihiler dan parakardial. Pasien juga tampk anemis Hb, 10, 1 gr %, leukosit 7600/mm3, Ht 29 % dengna hitung jenis 0/3/2/64/29/2. dilakukan tranfsi PRC sebanyak 25 cc. Hb lendir masih ada, tetapi tidak pernah lagi. Hari ke-32, oksigen dihentikan. Antiboitik dihentikan pada hari ke-35.
Hari ke-34 dilakukan konsultasi ke bagian mata untuk menilai ROP, tetapi bagian mata belum bisa memeriksa karena bayi masih terlalu kecil.
Selama perawatan berat badan meningkat menjadi 1250 gram mulai hari ke-enam dan terus bertambah secara bertahap sampai 1800 gr (hari ke 37), saat pasien dipulangkan. Pasien pulang dalam keadaan baik, refleksi isap baik, menangis kuat, anemis tidak ada, sianosis tidak ada. Tanda vital normal. Panjang badang 43 cm dan lingkaran kepala 30,5 cm.

Tanggal 1 Desember 2003 (umur 48 hari)
Pasien dibawa untuk kontrol. Keluhan tidak ada menyusu kuat (ASI). Berat badan 2000 gr, panjang badan 45 cm dan lingkaran kepala 32,5 cm. Pemeriksaan fisik normal. Kedua testis telah turun.

Tanggal 19 Desember 2003 (umur 2 bulan, koreksi 0 bulan)
Pasien dibawa ke poliklinik untuk imunisasi BCG. Keluhan tidak ada, menyusu kuat (ASI). Berat badan 2200 gr, panjang badan 49 cm dan lingkaran kepala 33,5 cm. Pemeriksaan fisik normal.

Tanggal 16 Juni 2004 (umur 8 bulan, koreksi 6 bulan)
Pasien tampak aktif, sudah bisa bergumam (babling), telungkup, membalik sendiri, serta duduk dengan bantuan. Tertawa sudah bisa sejak umur 3 bulan. Imunisasi yang s udah didapatkan antara lain DPT (tanggal 16/1, 20/2, 19,3), polio (sama dengan DPT, polio IV tanggal 20/4) dan hepatitis (2/1 dan 6/2, hepatitis III belum dilakukan). Pasien masih minum ASI, ditambah dengan susu formula sejak usia 5 bulan karena ASI ibu tidak cukup. Pasien diberikan makanan tambahan sejak umur 6 bulan berupa bubur susu 2-3 kali sehari.
Sejak umur 8 bulan ini, pasien sudah dicoba makan nasi tim saring. Tanpa vital normal. Berat badan 8,3 kg, panjang badan 68 cm dan lingkaran kepala 43
Ubun-ubun besar masih membuka. Gigi seri sudah tumbuh 2 buah dirahan bawah.
Uji pendengaran dilakukan dengan bertepuk dibelakang pasien. Pasien menoleh saat pemeriksaan bertepuk. Pemeriksaan mata untuk menilai ROP memberikan hasil normal.
Pemeriksaan fisik lain dalam batas normal.
Pada pemeriksaan BINS (Bayley Infant Neurodevelopment Screening) didapatkan bahwa pasien lulus pada 11 dari 13 point (terlampir). Yang tidak lulus yaitu pada point traction response (fungsi neurologis, masih ada head lag), dan meniru (fungsi konitif). Pada DDST II didapatkan hasil normal ( lulus sesuai umur), kecuali pada kemampuan motorik halus ”mencari benang”, didapatkan hasil N.O (Tidak dapat dinilai.

Tanggal 24 Agustus 2004 (umur 10 bulan, koreksi 8 bulan).
Imunisasi dasar sudah lengkap. Hepatitis III tanggal 9/7 dan Campak pada tanggal 20/ 8. Pasien sudah bisa duduk. Datang dengan keluhan demam ringan dan buang air besar encer 3-4 kali sehari.
Pemeriksaan fisik : keadaan umum sakit sedang, sadar, tanda vital dalam batas normal. Berat badan 9,2 kg , panjang badan 71 cm dan lingkaran kepala 45 cm. Tanda-tanda dehidrasi tidak ada, tonsil-faring normal, jantung paru-normal, abdomen normal, turgor baik, bising usus normal. Pasien dianjurkan untuk minum oralit dan diberikan parasetamol (diminum kalau demam).
Pada pemeriksaan BINS didapatkan nilai 12 dari 13 point. Pasien belum bisa berdiri berpengang (fungsi ekspresif, motorik kasar). Pemeriksaan DDST II dalam batas normal, walaupun pasien belum dapat berjalan dengan baik (fungsi motorik kasar).

Tanggal 4 November 2004 (umur 12 bulan, koreksi 10 bulan).
Pasien sudah bisa berjalan di tuntun, makan nasi tim, ASI ditambah dengan susu formula.
Berat badan 9,8 kg, panjang badan 75 cm dan lingkaran kepala 46 cm.
Tanda vital dalam batas normal.

Tanggal 5 Januari 2005 (umur 14 bulan, koreksi 12 bulan)
Pasien sehat, aktif, sudah bisa jalan sendiri + 5 langkah, bisa memanggil ”maa” dan ”baa”, serta suka main ”ciluk baa”. Gigi sudah tumbuh 6 buah.
Tanda vital dalam batas normal, berat badan 10 ,2 kg, tinggi badan 77 cm dan lingkaran kepala 47 cm.
Pada pemeriksaan BINS didapatkan bahwa pasien lolos pada 10 dari 11 point (terlampir).
Point yang tidak lolos adalah pada meniru garis krayon (fungsi kognitif).
Pasien dibawah konsultasi ke spesialis THT untuk pemeriksaan pendengaran, didapatkan hasil baik dan pemeriksaan fisik telinga dalam batas normal .

Pemeriksaan oftalmoskopi dengan midriatik dilakukan untuk menilai adanya retinopati prmaturitas. Didapatkan pemucatan di daerah papil dengan batas yang kurang tegas, dengan kesan retinopati prematuritas (zona dan derajat belum bisa ditentukan karena pasien sangat gelisah saat diperiksa). Retina bagian perifer belum bisa diperksa sehingga dianjurkan pemeriksaan dalam sedasi, tetapi orang tua belum setuju.

Tinjauan Pustaka
Prematuritas
Kelahiran prematur sampai saat ini masih merupakan masalah penting di dalam bidang reproduksi manusia karena secara langsung bertanggung jawab terhadap 75-90 % kematian neonatal yang bukan disebabkan oleh kelainan letal. Kelahi ran prematur juga merupakan penyumbang besar pada kematian perinatal dan kesakitan neonatus jangka pendek maupun panjang. Kelainan yang sering dijumpai pada kelahiran prematur berhubungan dengan belum matangnya organ-organ, termasuk diantaranya sindrom gagal nafas, displasia bronkopulmoner, duktus arterio suspaten, enterokolitis nekrotikans, hiperbilirubinemia, apne permaturitas, perdarahan intraventrikuler, retinopati prematuritas dan sepsis neonatal. Jika seorang bayi prematur dapat bertahan hidup, ia dihadapkan pada beberapa resiko seperti kebutaan, ketulian, kelumpuhan otak atau keterbelakangan mental.
Defenisi
Bayi kurang bulan (BKB/prematur) adalah bayi yang lahir pada masa kehamilan kurang dari 37 minggu (dihitung dari pertama haid terakhir) tanpa memandang berat lahirnya. The American Academic of Pediatrics mengambil batasan 38 minggu untuk menunjukkan prematuritas.
Berdasarkan umur kehamilan Usher (1975) menggolongkan bayi prematur menjadi :
1.Bayi yang sangat prematur (extremely premature), masa gestasi 24-30 minggu
2.Bayi prematur sedang (moderately prematur), masa gestasi 31-36 minggu
3.Borderline premature, masa gestasi 37-38 minggu

Menurut kurva pertumbuhan janin, terdapat 3 golongan BKB / prematur, yaitu :
1.BKB SMK (Sesuai dengan masa kehamilan)
2.BKB KMK (Kecil untuk masa kehamilan)
3.BKB BMK (Besar untuk masa kehamilan)
Berdasarkan berat badannya bayi prematur digolongkan menjadi :
1.BBLR (Bayi berat lahir rendah), 1500-2500 gram
2.BBLSR (Bayi berat lahir sangat rendah), 1000-1499 gram
3.BBLASR (Bayi berat lahir amat sangat rendah), < 1000 gram

Faktor Resi ko
Sampai sekarang penyebab terjadinya kelahiran prematur belum diketahui. Beberapa keadaan yang tampaknya mempunyai hubungan erat dengan terjadinya kelahiran prematur ini yaitu :
Introgenik
Induksi persalinan
Sectio caesarea elektif berulang
Maternal
Penyakit sistematik berat
Adanya patologi nyata di abdomen non obstetrik
Penyalahgunaan obat terlarang
Trauma
Berat badan yang rendah sebelum kehamilan
Perawatan pendek
Penyakit selama hamil
Cairan amnion
Olig ohidramnion dengan selaput ketuban utuh
Ketuban pecah dini
Polihidramnion
Infeksi intra amnion subklinis
Korioamn ionitis klinis
Uterus
Malformasi uterus kongenital
Overdistensi akut
Mioma besar
Desiduitis
Aktivitas uterus idiopatik
Plasenta
Solusi plasenta
Plasenta previa
Sinus marganalis
Korioangioma besar
Disfungsi plasenta
Janin
Malformasi janin
Kehamilan majemuk
Janin hidrops
Pertumbuhan janin terhambat
Gawat janin
Kematian janin
Serviks
Inkompetensi serviks
Servisitis / vaginitas akut

Masalah Pada Prematuritas
Berbagai masalah pada prematuritas muncul sebagai akibat imaturitas organ dari sistem.
Resiko terjadinya masalah akibat imaturitas ini berbanding terbalik dengan lamanya masa gestasi, semakin sering ditemukan. Masalah yang sering dihadapi oleh bayi-bayi prematur adalah :
1.Asfiksia perinatal
2.Masalah pada susunan saraf pusat
Perdarahan periventrikuler – intraventrikuler (PPV – IV)
Leukomalasia periventrikuler
3.Masalah pada sistem pernafasan
Sindroma gawat nafas karena penyakit membran hialin (PMH)
Apne pada bayi prematur
Sindrom kebocoran udara (air leak syndrome)
Displasia bronkopulmoner
4.Hipotemia
5.Hipoglikemia
6.Komplikasi kardiovaskuler
Duktus arteriosus persisten (DAP)
Hipotensi sistemik
7.Imaturitas regulasi cairan
8.Hiperbilirubinemia
9.Retinopati prematuritas (ROP)
10.Ketahanan yang rendah terhadap infeksi
11.Enterokolitis Nekrotikans (EKN)
12.Perdarahan

Pelaksanaan
Resusitansi harus dilakukan secara benar pada bayi prematur
Perawatan di dalam inkubator, serta memperhatikan ventilasi dan reprirasi
1.Meletakkan bayi dalam inkubator dengan suhu lingkungan sesuai NTE (Normal Thermal Environment)
2.Memastikan pasokan oksigen bayi cukup baik. Saturasi 92-95 % sudah cukup memadai. Bila tidak tersedia oksimeter, oksigen bisa diberikan sampai tubuh bayi tampak kemerahan
3.Analisis gas darah penting dilakukan, karena seringkali bayi tidak dapat mengeliminasi CO2 meskipun oksigenasi berlangsung baik
4.Radiografi toraks untuk memastikan seberapa berat kelainan paru
5.Pemasangan akses arteri (kalau diperlukan) untuk mempermudah pengambilan sampel darah berkali-kali dan kalau mungkin untuk memonitor tekanan darah
6.Pemberian surfaktan tambahan
7.Pemakaian ventilator pada kasus-kasus tertentu

Nutrisi Parenteral
Bayi prematur mungkin akan membutuhkan beberapa hari sebelum stabil dan bisa diberi makan enteral. Sementara itu, cairan dekstrose intravena harus segera dimulai, diikuti dengan pemberian nutrisi parenter al jika makanan belum diberi kan dalam waktu 3 hari.
Nutrisi parenteral bertujuan untuk menyediakan kalori non-protein yang cukup, sehingga protein yang ada bisa digunakan semaksimal mungkin untuk pertumbuhan. Tiga komponen penting pada nutrisi parenteral adalah glukosa, asam amino dan lipid. Cairan infus harus mengandung asam amino sintesis 2,5-3 gram / dl dan glukosa hipertonik 10-25 gram/dl serta ditambah dengan elektrolit, trace minerals dan vitamin. Emulsi lemak intravena seperti intralipid 20 % (2,2 kka l/ml) bisa digunakan untu menyediakan kalori tanpa beban osmotik yang berarti. Glukosa sudah lebih awal diberikan, sedangkan asam amino dan intralipid menyusul kemudian ketika bayi tidak diharapkan akan minum penuh dalam waktu dekat. Pemberian intralipid bisa dimulai dengan 0, 5 gram/Kg BB/hari dan bisa dinaikkan sampai 3-4 gram/kgBB/hari.

Pemberian Makanan Enteral
Pemberian makanan bersifat individual. Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah perkembangan refleks hisap, menelan, bayi perlu mengkoordinasi gerakan ini dengan pernafasan. Sangat penting untuk mencegah kelelahan, regurgitasi dan aspirasi. Beberapa kondisi yang dapat dijadikan pegangan untuk memulai nutrisi enteral antara lain :
1.Tanda vital stabil
2.Terdengar bising usus
3.Abdomen tidak membuncit
4.Tidak ditemukan faktor-faktor resiko (asfiksia, SGN, apneu, bradikardia dll)
Makanan harus di hentikan pada bayi dengan SGN, hipoksia, sirkulasi tidak memuaskan, sekresi yang berlebihan, sepsis, depresi susunan syaraf pusat atau bayi dengan tanda penyakit berat. Bayi-bayi dengan keadaan seperti ini harus diberikan nutrisi parenteral untuk penyediaan kalori, cairan, dan elektrolit.
Bila ASI tersedia dan tidak ada indikasi kontra pemberian, maka untuk mencapai kecepatan pertumbuhan pada bayi prematur harus diberikan ASI sebanyak 180 -200 cc/kgBB /hari.
Bayi prematur bisa dipulangkan jika sudah mampu minum sendiri, dengan kenaikan berat badan 10-30 gram perhari dan suhu tubuh tetap normal di ruangan biasa. Tidak menderita apne atau bradikardia dan tidak memerlukan oksgien atau obat-obat intravena.
Selanjutnya bayi harus dipantau secara teratur untuk melihat pertumbuhan dan perkembangannya, serta menemukan kelalaian yang mungkin baru timbul kemudian dan kalau mungkin mengobati / mencegah berlanjut nya proses penyakit yang dideritanya.
Pemantauan pertumbuhan
Untuk memantau pertumbuhan bayi prematur dapat digunakan kurva seperti kura Babson and Benda, IHDP (Infant Health and Develompment Program), Gairdner and Pearson serta kurva CDC.
Berdasarkan konvensi, untuk memantau pertumbuhan digunakan untuk koreksi, yaitu umur kronologis jumlah minggu prematuritas sampai bayi mencapai 2 tahun.

Pengukuran dilakukan terhadap :
1.Berat badan. Sejak umur pasca menstruasi 32 minggu sampai 1 bulan setelah aterm, rerat meningkat persentil ke 10 kurve pertumbuhan intra uteri aterm. Rerata berat badan bayi umur 2-18 bulan, berkisar antara 0-1 SD dibawah rerata bayi aterm.
2. Panjang badan. Panjang badan bayi prematur rerata umur pasca menstruasi 30-40 minggu, turun di bawah persentil 50 kurve pertumbuhan intera uterin. Tumbuh umur 1,5-7,5 bulan. Dari umur 7,5 bulan sampai 5 tahun, pertumbuhannya sama atau sedikit lebih cepat dari bayi-bayi aterm
3.Lingkar kepala. Setelah umur kronologis 3-4 minggu, pertumbuhan kepala bayi prematur sub-optimal yaitu 0,2 cm/minggu, kemudian diikuti dengan pertumbuhan cepat (1 cm/minggu) selama 1-2 bulan. Setelah itu tumbuh dengan laju normal, yaitu 1 cm/bulan dalam 6 bulan pertama dan 0,5 cm/bulan untuk 6 bulan berikutnya. Pertumbuhan kepala yang tidak memadai merupakan indikator awal adanya gangguan perkembangan .

Pemantauan Perkembangan
Perkembangan bayi prematur dalam 2 tahun pertama dinilai berdasarkan umur koreksi.
Kemajuan perkembangan dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain umur kehamilan, nutrisi, penyakit, stimulasi dan pemberian kasih sayang.
Untuk pemantauan perkembangan sering digunakan DDST II (Denver Development Screening Test II) atau BINS (Bayley Infant Neurodevelopment Screening).
Pada DDST yang dinilai adalah 4 sektor perkembangan, yaitu perilaku sosial, gerakan motorik halus, gerakan motorik kasar dan bahasa. Setiap kemampuan dalam kotak persegi panjang horizontal yang berurutan menurut umur. Penilaian dilakukan dengan memberikan nilai lulus (passed = P), tidak lulus (failed = F) atau tidak melakukan (no opprtunity = N.O). saat ini digunakan DDST II, hasil revisi dari Frakenbrurg y ang merupakan pengembangan dari DDST dan DDST-R.
BINS adalah suatu metode untuk menilai perkembangan anak yang berusia 3-24 bulan. Pada BINS yang dinilai adalah fungsi neurologis (N), reseptif (R), ekspresif (E), dan kognitif (K). Resiko untuk terjadi gang guan perkembangan dilihat dari beberapa nilai yang didapatkan, anak digolongkan menjadi resiko rendah, rendah dan tinggi.
Bila hasil skrining menunjukkan hasil yang tidak normal, perlu dilanjurkan dengan pemeriksaan neurologis. Agar perkembangan bayi menjadi optimal perlu diberikan intervensi berupa stimulasi dini.

Pemeriksaan lain
1.Pemeriksaan fungsi penglihatan. Pada bayi dengan berat lahir < 1700 gr, 50 % menderita ROP, 5 % di antaranya ROP berat. Semua bayi dengan resiko tinggi harus dilakukan pemeriksaan mata pada umur 4-6 minggu atau sebelum bayi dipulangkan.
Bila ditemukan kelainan, diperlukan pemeriksaan berkala tiap 2 minggu, sehingga progesivitas penyakit dapat sangat diketahui. Bila tidak ditemukan kelainan, pemeriksaan mata diulangi pada umur 12-24 bulan.
2.Pemeriksaan fungsi pendengaran. Tuli kongenital lebih sering ditemukan pada bayi beresiko tinggi, termasuk bayi prematru. Intervensi dini akan memberikan perubahan bermakna pada kesempatan bicara. Fungsi pendengaran perlu dievaluasi ulang pada umur 12-24 bulan
3.Pemantauan morbiditas. Bayi prematur mempunyai angka kejadian morbiditas yang lebih tinggi dengan bayi aterm. Bayi-bayi ini mempunyai kemungkinan empat kali lebih tinggi untuk dirawat kembali di rumah sakit dalam ben tuk pertama kehidupan. Morbiditas yang mungkin timbul adalah komplikasi prematuritas sendiri, anemia defisiensi besi dan hipert ensi.

Stimulasi psikososial
Bayi resiko tinggi adalah bayi yang secara klinis belum menunjukkan hambatan perkembangan, t etai berpotensi untuk mengalami gangguan perkembangan akibat faktor-faktor resiko biomedik ataupun lingkungan psikososial atau ekonomi, yang dialami sejak masa konsepsi sampai masa neonatal.
Prematuritas termasuk salah satu resiko biomedik yang tersering ditemukan dan berpotensi untuk menghambat tumbuh kembang. Umumnya gangguan perkembangan bersumber pada gangguan perkembangan otak.
Plastisitas otak adalah kemampuan susunan syaraf untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan atau kerusakan yang disebabkan oleh faktor eksternal dan internal. Pada bayi, kemampuan plastisitas ini tinggi karena jumlah neuron, percabangan akson, dendrit serta jumlah sinaps jauh lebih banyak dibandingkan dengan dewasa. Struktur yang dimanfaatkan akan menetap bahkan berkembang menjadi rangkaian fungsional, tetapi bila tidak dimanfaatkan maka struktur tersebut akan mengalami eliminasi. Untuk itu diperlukan rangsangan yang terus menerus me lalui beragai sistem agar struktur yang masih ada dapat dioptimalkan.
Intervensi yang dilakukan sejak dini dan berlangsung lebih lama akan memberikan manfaat lebih besar di bandingkan dengan intervensi yang terlambat atau dilakukan dalam waktu singkat.
Umumnya untuk bayi dianjurkan pendekatan rangsangan multimodal yang meliputi rangsangan.
1.Taktil (pijat, fleksi, ekstensi, posisi)
2.Vestibular kinestetik (mengg yang, mengayun)
3.Pendengaran (menanyi, musik, rekaman suara ibu, irama jantung ibu)
4. Visual (gerakan, warna, bentuk)
Sebelum usia 3 tahun, stimulasi diarahkan untuk mencapai semua aspek perkembangan (pengliha tan, kognitif, sosial-kemandirian, gerak halus, kasar). Sesudah umur 3 tahun stimulasi diarahkan lebih spesifik untuk kesiapan akademik, seperti menggambar, mengenal bentuk, huruf, angka, menulis, membaca dan berhitung, disamping emosi-sosial dan kemandirian.

Analisis kasus
Data awal
Kasus ini mempresentasikan seorang bayi BBLR dengan prematuritas murni, SMK. Pasien Isir secara spontan, asfiksia sedang (partus luar), dengan berat badan 1200 gram. Saat datang (usia 3 jam) pasien tampak sesak nafas. Hasil rontgent toraks memperlihatkan adanya infiltrat dan tidak jelas adanya HMD. Bronkopneumonia bisa disebabkan karena percah ketuban yang telah berlangsung selama 3 hari sebelum kelahiran, sedangkan maturitas paru terpacu karena pemberian kortikosterioid sehingga pasien tidak menderita HMD. Selama perawatan pasien sering sianosis dan mendapatkan oksigen dalam waktu yang cukup lama. Tidak pernah tampak kuning.

Faktor genetik / heredokonstitusional
Pasien merupakan anak kedua. Anak pertama juga BBLR dengan prematuritas (1200 gr) yang lahir spontan dan meninggal pada umur 1 minggu. Pada riwayat keluarga juga ditemukan adanya riwayat prematuritas. Kakak kandung ibu juga tahu prematur 1800 gr/sekarang baik.

Faktor lingkungan (ekosistem)
Pranatal
Kehamilan ibu merupakan kehamilan yang tidak disangka sebelumnya karena ibu masih belum mendapatkan haid saat mulai hamil (setelah melahirkan anak pertama), tetapi ibu mensyukuri kehamilannya dan telah kontrol sejak awal pada dokter spesialis kandungan. Ibu tidak mengkonsumsi jamu ataupun obat-obatan selain yang diberikan oleh dokter kandungan. Selama kehamilan ibu tidak mempunyai masalah dengan makanan, gizi ibu cukup baik dan rajin meminum susu ibu hamil.
Kira-kira bulan kedua kehamilan, terjadi komplikasi berupa perdarahan sampai bulan ketiga. Ketuban pecah dini terjadi pada kehamilan tujuh bulan. Ibu melahirkan setelah dirawat selama tiga hari dan telah mendapatkan terapi antibiotik serta kotikosteroid. Kedua komplikasi ini potensial menimbulkan masalah. Perdarahan pada waktu kehamilan muda bisa menimbulkan gangguan pada organogenesis dan perkembangan janin, hal ini tidak ditemukan pada kasus. Sedangkan ketuban pecah dini (lebih kurang 3 hari) sangat potensial untuk menimbulkan gangguan pada organogenesis dan perkembangan janin, hal ini tidak ditemukan pada kasus. Sedangkan ketubah pecah dini (lebih kurang 3 hari) sangat potensial untuk menimbulkan infeksi karena adanya hubungan antara dunia luar dengan intra uterin. Pada kasus ini, ibu segera dirawat setelah ketubah pecah dan dokter spesialis kebidanan segera memberikan antibiotik profilaks. Walaupun pasien masih menderita bronkopneumonia setelah lahir, tetapi tidak terlalu berat.
Pecahnya ketuban juga merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya persalinan prematur. Hal ini sudah diantisipasi oleh dokter kebidanan dengan memberikan kontikosterioid antenatal untuk mempercepat pematangan paru janin. Pemberian ini terbukti membantu karena pada kasus ini tidak ditemukan adanya HMD yang disebabkan oleh kurangnya surfaktan pada bayi prematur.

Postnatal
Ekosistem Mikro
Ibu berusia 26 tahun, Suku Minangkabau, pendidikan Sarjana, tidak bekerja. Ibu sama sekali belum berpengalaman dalam membesarkan anak. Anak pertama prematur 1200 gram dan meninggal setelah usia satu minggu. Ini merupakan pengalaman yang cukup traumatis bagi ibu sehingga ibu terus merasa khawatir dengan keadaan anaknya. Hal positif dari keadaan ini adalah bahwa ibu suka ”cerewet” menanyakan segala hal tentang perawatan bayi dan mau mengikuti nasehat dokter. Pendidikan ibu yang tinggi, membuat komunikasi antara dokter dan ibu cukup baik. Seteiap ada masalah dengan anak, ibu selalu membawa anak ke dokter maupun menelepon.

Ekosistem mini
Ayah berusia 28 tahun, suku Minangkabau, pendidikan SMA, bekerja sebagai Polisi. Ayah juga cukup kooperatif dan pada saat pasien rumah sakit selalu mendapmpingi ibu dalam merawat bayinya setiap ada kesempatn (walaupun di luar lapangan). Pada saat pasien berusia 4 bulan, ayah ditugaskan ke Aceh selama 8 bulan dan dilanjutkan ke Pekanbaru selama 1 bulan. Walaupun demikian, ayah selalau berusaha mendekati pasien, sehingga pasien tidak begitu asing dengan ayahnya.
Hubungan dalam keluarga cukup harmonis. Ayah dan ibu menjalankan fungsi masing-masing dengan cukup baik, keduanya saling menghormati serta mempunyai keinginan dan perhatian cukup besar untuk pemenuhan kebutuhan dasar anaknya.
Pasien sekeluarga tanggal di rumah permanen milik keluarga ibu. Rumah cukup besar, bertingkat, berlantai keramik, halaman dan garasi ada, dengan beberapa kamar kos yang disewakan. Ventilasi cukup, penerangan dengan listrik PLN, sumber air dari PAM dan pompa listrik, air jenirh, tidak berwarna dan tidak berbau. Sampah dibawa oleh petugas. Keluar yang tinggal serumah adalah nenek dari pihak ibu, kakek (meninggal pada waktu pasien berusia 10 bulan), adik ibu, anak kakak ibu – perempuan berusia 8 bulan, ayah, pasien dan 2 orang anak kos (perempuan, bekerja). Kakek adalah mantan kepala kejaksaan diBengkalis. Tingkat ekonomi keluarga ibu cukup baik (menengah ke atas).

Ekosistem Meso
Keluarga pasien tinggal di daerah penduduk asli (bukan kompleks), ditepi jalan raya. Tetangga pada umumnya adalah penduduk asli daerah tersebut (Gurun Lawas) dengan tingkat sosial ekonomi menegah. Hubungan dengan tetangga cukup rukun. Sarana kesehatan mudah dicapai, ibu memilih membawa anak ke RS Dr. M. Djamil atau ke praktek Dokter spesialis jika ada masalah. Keluarga mempunyai mobil pribadi sebagai sarana transportasi. Untuk telekomunikasi ibu mempunyai telepon rumah dan telepon genggam.

Pemenuhan kebutuhan dasar
Kebutuhan fisik-biomedis (ASUH)
Pasien mendapat ASI sampai sekarang, walauun pada usia 5 bulan ditambah dengan susu formula karena ASI ibu kurang. Pemberian makanan tambahan dimulai pada usia 6 bulan, berupa bubur susu dan buah-buahan. Nasi tim dimulai diberikan pada usia 8 bulan dan nasi tim biasa mulai usia 10 bulan. Saat ini pasien sudah diberikan nasi lunak dengan lauk, telur, ikan, daging (berganti-ganti) dan sayuran. Kualitas maupun kuantitas akanan cukup.
Imunisasi diberikan sejak umur 2,5 bulan dianjurkan sesuai jadwal dan lengkap pada usia 10 bulan. Penimbangan dilakukan dengan teratur setiap bulan, ke rumah sakit atau ke dokter. Kalau sakit, anak segera dibawa berobat ke RS. Dr. M. Djamil atau ke dokter spesialis anak.
Rumah tinggal keluarga sangat layak, sumber air dan penerangan baik, sampah dibawa petugas. Higiene dan sanitasi lingkungan baik. Sandang juga terpenuhi dengan baik. Setiap 1-2 minggu sekali, anak dibawa reaksi oleh ibu dan ayah (kalau ada di rumah) ke temat-tempat di kota padang. Pada usia 10 bulan anak bahkan telah dibawa ke Jakarta, untuk menghadiri pesta perkawinan kakak ibu sekaligus berekreaksi.
Sebagai bayi yang lahir prematur dengan berat badan lahir sangat rendah, terdapat kemungkinan beberapa komplikasi, seperti gangguan neurologis, pendengaran, penglihatan, dan tumbuh kembang. Kepada ibu diterangkan hal ini dan dianjurkan untuk membawa bayi untuk kontraol teratur ke RS. Dr. M. Djamil dan ke dokter spesialis, juga dilakukan kunjungan krumah untuk memantau perkembangan.
Pemeriksaan yang dilakukan antara lain pemeriksaan mata dan teliga, pada umur 6 bulan (koreksi) dan umur 1 tahun (koreksi). Skrining perkembangan juga dilakukan dengan DDST II dan BINS

Kebutuhan emosi / kasih sayang (ASIH)
Hubungan ibu dan anak sangat erat dan mesra. Sejak di rumah sakit, telah diucahakan terjadinya komunikasi sedini mungkin. Ibu telah datang ke rumah sakit sejak hari ketiga dan telihat langsung dalam perawatan bayinya.
Ayah juga cukup dekat dengan bayinya, tetap kedekatan ini terganggu karena tugas ayah sebagai polisi yang mengharuskannya bertugas di luar daerah.
Anggota keluarga lain seperti nenek, adik, ibu dan juga sepupu yang berusia 8 tahun juga terlihat dalam mengasuh pasien. Pasien sangat dekat dengan sepupu yang sudah seperti kakak sendiri.
Kebutuhan akan stimulasi mental (ASAH)
Stimulasi terhadap pasien telah dimulai sedini mungkin, sejak pasien masih di rumah sakit. Saat pasien inkubator, ibu telah dilibatkan dalam perawatannya. Kepala ibu dianjurkan untuk mengajar bicara bayinya dengan lembut, walaupun bayi belum bisa digendong.
Setelah bayi cukup stabil, dimulai perawatan bayi lekat (kanggaroo baby care) dengan meletakkan bayi dalam posisi tegak diantara kedua payudara ibu dan kemudian ditutupi dengan pakaian khusus (ada bagian perinatologi), sehingga terjadi kontak kulit dengan kulit antara bayi dan ibu yang berupa rangsangan taktil dan bayi akan mendengar detak jantung ibu yang merupakan rangsangan auditori terhadap bayi. Rangsangan taktil juga diberikan dengan cara meminjat bayi, selain diajarkan secara langsung, kepada ibu juga diberikan satu copy buku tentang memijat bayi.
Selama di rumah sakit ibu juga diajarkan keterampilan membersihkan, memandikan. Mengganti pakaian, memberi minum dan menenangkan bayi. Ibu dianjurkan sedekat mungkin dengan bayi, sehingga menghilangkan ketakutan dan kecemasan ibu serta mendorong ibu untuk menikmati kebersamaan dengan bayinya.
Di rumah, ibu dianjurkan untuk mengajak bayinya bercakap-cakap, kontak mata dan membelikan mainan sesuai umur yang bisa merangsang perkembangan bayi, seperti mainan berwarna terang, kerincingan dan lain-lain serta meminta ibu untuk bermain dengan bayinya.

Hasil penanganan jangka panjang
Dari penangan jangka panjang yang dilakukan, sampai saat ini belum terlihat gangguan tumbuh kembang yang berarti. Pertumbuhan pasien sangat baik, terjadi tumbuh kejar pada usia 4-12 bulan (kronologis), sehingga berat badan pada usia 14 bulan telah sesuai dengan bayi aterm (antara P25-50 kurva CDC 2000). Imunisasi dilakukan dengan lengkap, walaupun tidak sesuai jadwal.
Pada pemeriksaan BINS yang dilakukan 3 kali jangka waktu, didapatkan bahwa pasien tergolong beresiko rendah untuk kelainan neurodevelopmental. DDST II juga dalam batas perkembangan masih mungkin terjadi pada umur yang lebih tua.
Pemeriksaan teliga yang dilakukan 2 kali (umur 6 bulan dan 1 tahun) mendapatkan hasil dalam batas normal.
Pemeriksaan mata terhadap kemungkinan ROP sudah dilakukan, tetapi hasil belum maksimal. Pada pemeriksaan pertama (umur kronologis 5-6 minggu), ROP belum dapat dinilai karena pasien masih terlalu kecil, sedangkan umur 6 bulan didapatkan hasil dalam batas normal. Pemeriksan terakhir (umur 14 bulan-kronologis), ditemukan adanya ROP, tetapi derajat belum bisa ditentukan. Seharusnya pemeriksaan ini diulang dalam keadaan anak tertidur, tetapi orang tua mencemaskan prosedur pemeriksaan (pemakaian sedatif terhadap anaknya, sehingga memutuskan untuk menunggu.






















Daftar pustaka
1.Gunardi H. Pemantulan bayi prematur. Dalam Trihono PP, Pudjarto PS, Syarif DR, et al, penyunting. Hot topics in pediatrics II. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak FKUI XLV.FKUI; 2002 18-19 Februari : Balai Penerbit FKUI, 2002.
2.Chundrayenti E. Kesakitan dan kematian neonatal dini pada bayi dengan berat badan lahir rendah dan beberapa faktor yang mempengaruhi di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Tesis, Padang : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK-UNAND, 1998.
3.Wibowo N. Resiko dan pencegahan kelahiran prematur. Dalam :L Suradi R, Monintja HE, Amalia P, Kusumowardhani D, penyunting. Penanganan mutakhir bayi perematur : memenuhi kebutuhan bayi prematur untuk menunjang berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak FKUI XXXVIII. FKUI;l 1997.
4.Monintja HE. Beberapa aspek kebutuhan bayi kurang bulan. Dalam : Suradi R, Monintja HE, Amalia P, Kusumowardhani prematur untuk menunjang peningkatan kualitas sumber daya manusia.. Naskah Lengkap Pendidikan, Kedokteran berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak FKUI XXXXVII . FUI; 1997; Jakarta Balai Penerbit, 1997
5.Janin dan neonatus. Dalam : Markam Ah, Ismael S, Alatas H, et al, penyunting. Buku ajar ilmu kesehatan anak jilid I. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1991.h.218-21.
6.Budjang FR, Bayi yang berat badan lahir rendah. Dalam Wiknojosastro H, Sifuddin B, Rachimhadi T, penyunting. Ilmu Kebidanan Edisi ke – III. Jakarta : Pustaka Sarwono, 1999. h. 77-184.
7.Lumley J. Epidemiology of rematurity. Dalam : Yu VYH, Wood, EC, penyunting. Prematurity. Endibrugh : Churchill livingstone, 1987.h. 1-24.
8.Stool BJ, Kliegman RM. The newborn infant. Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting Nelson Textboox of pediatrics. Edisi Ke 17. Phidelphia : Sauders, 2004. h. 523-35.
9.Yu VYH. Neonatal complications in preterm infants. Dalam Yu : VYH, Wood EC, penyunting, Prematurity. Endinburgh. : Churchill livingstone, 1987.h.148-69.

KARSINOMA HEPATOSELULAR

KARSINOMA HEPATOSELULAR


Pendahuluan

Karsinoma hepatoselular (KHS) merupakan salah satu kanker yang paling umum ditemukan diseluruh dunia. Diperkirakan terjadi 500- 600 ribu kematian setiap tahunnya karena KHS. 1,2
Karsinoma hepatoselular merupakan tumor ganas yang berasal dari sel hepatosit dan merupakan tumor hati primer dengan angka kematian yang masih tinggi. Umumnya pasien meninggal tidak lama setelah diagnosis ditegakkan, ini disebabkan karena penderita biasanya datang berobat sudah dalam keadaan lanjut dan sampai saat ini belum ada satu pengobatan pun yang memuaskan.1
Diagnosis pasti karsinoma hepatoselular ditegakkan dengan pemeriksaan patologi anatomik melalui biopsi hati. Dewasa ini biopsi hati lebih sering dilakukan dengan mempergunakan jarum halus (FNB = fine needle biopsy) atau lebih dikenal sebagai biopsi aspirasi.1
Telah banyak diketahui hubungan antara KHS dan beberapa faktor penyebab seperti infeksi virus hepatitis B (VHB), hepatitis C dan alkohol, namun proses molekuler terjadinya KHS karena faktor-faktor tersebut masih belum dimengerti. 1,3


Etiologi
Karsinoma hepatoselular disebabkan oleh beberapa faktor, faktor yang berperan penting adalah infeksi virus hepatitis B (VHB), virus hepatitis C (VHC) kronis 2,3 dan aflatoksin sebagai zat karsinogenik. Faktor genetik, imunologi, makanan dan lingkungan turut berperan dalam terjadinya KHS. Beberapa penyebab lain yang dihubungkan dengan KHS antaralain : hemokromatosis, pemaparan oleh vinil klorida, infestasi Schistosoma japonica, defisiensi alfa 1 antitripsin, tirosinosis dan metotreksat yang menginduksi sel hati.2-4




Gambar 1. Penyebab Karsinoma Hepato Seluler
Dikutip dari 2


Manifestasi klinis
Pada awalnya penyakit KHS berlangsung pelan, tanpa adanya keluhan atau gejala yang jelas, sehingga pasien tidak mengetahui sampai tumor mencapai ukuran yang besar. Pasien bisa merasa lemah, malaise atau kondisi lain yang menyerupai hepatitis.
Keluhan utama yang muncul biasanya nyeri perut atau terabanya masa di perut bagian atas, tidak nafsu makan dan berat badan menurun. Nyeri dirasakan sebagai rasa sakit tumpul atau rasa penuh di kuadran kanan atas, nyeri mendadak yang disebabkan peregangan kapsul karena pembesaran hati atau adanya perdarahan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan pembesaran hati dengan konsistensi padat, berbenjol-benjol dan tidak rata, ditemukan pelebaran vena dan asites . 5



Patogenesis


Infeksi virus hepatitis B kronis

Karsinoma hepatoselular merupakan komplikasi yang bisa berasal dari infeksi Virus hepatitis B, namun mekanisma pasti timbulnya KHS karena infeksi VHB kronis masih belum jelas. Diduga respon imun terhadap VHB berperan dalam timbulnya KHS.3 Pasien dengan tanda infeksi VHB aktif beresiko 10,4 kali lebih besar dibanding dengan pasien tanpa infeksi aktif. Pada bayi dan anak, terdapat 2 pola penularan, secara vertikal dan horizontal. Penularan horizontal dari orang tua terjadi melalui jalur parenteral seperti transfusi, suntikan dengan jarum suntik tercemar, tindik kuping, khitan atau melalui luka. Penularan secara vertikal terjadi saat proses persalinan, akibat darah ibu yang mengkontaminasi bayi. Infeksi perinatal ini berperan sebagai penyebab kronisitas dan keganasan karena daya penghancur hepatosist yang mengandng VHB pada bayi belum sempurna, sehingga DNA virus lebih luas berintegrasi dengan DNA hepatosit .3
Antivirus sel T berperan penting dalam mengontrol infeksi VHB, respon sel T yang kuat pada pasien VHB akan membunuh virus sehingga pasien menjadi sembuh, namun hal ini tidak terjadi pada penderita infeksi VHB kronis, dimana respon sel T tidak efektif. Respons sel T yang tidak efektif ini akan menyebabkan infeksi persisten pada penderita infeksi VHB kronis. Infeksi VHB kronis ini merupakan lingkungan mitogenik dan mutagenik yang akan merusak susunan genetik dan kromosom sel, dimana DNA VHB akan masuk dalam susunan DNA sel, terjadi microdeletions pada DNA sel sehingga kontrol pertumbuhan sel terganggu. Pada kasus kronis terjadi siklus penghancuran dan regenerasi sel hati terinfeksi yang akan berakhir pada KHS.3,6



Gambar 2. Hipotesis Karsinoma Hepastoseluler pada infeksi hepatitis
virus B
Dikutip dari 6

Mekanisme perubahan dari infeksi VHB kronis menjadi KHS belum jelas, suatu teori menerangkan bahwa KHS timbul setelah beberapa tahun setelah infeksi VHB kronis, yang mempermudah terjadinya kerusakan kromosom sehingga mencetuskan KHS, namun teori lain menyatakan sebagian besar tumor mengandung DNA VHB dan mikrodeletion pada susunan DNA, sehingga pembelahan sel tidak teratur. Secara invitro, terdapat kerusakan pada gen X VHB, suatu bagian dari susunan genom VHB yang akan menyebabkan pembelahan sel tidak terkontrol dan menghambat fungsi gen p53 ( anti onkogen sel). 3,5 Salah satu produk dari gen X adalah asam amino 154 yang diduga berperan penting dalam proses onkogenesis.2,3,6


Gambar 3. Gen VHB dan VHC, Genom VHB ditunjukan dengan bentuk
sirkular, garis tebal menunjukan env ( envelop atau surface ),
polimerase, X dan produk inti (core and e antigen ).
Dikutip dari 2

Kerusakan sel hati oleh reaksi terhadap protein VHB akan mencetuskan regenerasi sel hati, kerusakan DNA karena teroksidasi dan berakhir dengan KHS.3
Peningkatan VHB dalam sel akan meningkatkan kemungkinan terjadinya KHS melalui beberapa cara, polipeptida envelope bersifat hepatotoksik dan memacu timbulnya keganasan, produksi berlebihan envelope ini akan menumpuk dalam Retikulum endoplasma (ER) sel dan menimbulkan stres yang akan mengganggu proses reduksi-oksidasi sel dan menurunkan sintesis glutation, hal ini akan menimbulkan stres oksidatif. Stres oksidatif akan mempengaruhi metabolisme sel, mempercepat proses mutasi, perubahan proliferasi sel dan pada stres oksidatif berat, akan menimbulkan kematian sel, hati akan membelah untuk mengganti sel-sel yang mati ini, namun pembelahan berlangsung tidak terkontrol sehingga timbul KHS. 3
Stres oksidatif juga akan mengaktifkan sel stelata yang berfungsi untuk mengatur proses pertumbuhan dan diferesiasi sel. Sel stelata merupakan sel fibrogenik utama dalam hati yang bereaksi terhadap sitokin, faktor pertumbuhan dan kemokin, sebagai reaksi terhadap kerusakan sel hati. Fungsi sel ini adalah memproduksi suatu matriks ekstrasel sebagai tempat untuk pertumbuhan dan diferensiasi sel. Aktivasi sel stelata kronis akan menimbulkan fibrogenesis dan peningkatan proliferasi sel hepatosit yang pada akhirnya akan menjadi KHS.2 Gambar 4.
Respon imun yang tidak efektif selama infeksi VHB kronis merupakan faktor onkogenik pada KHS, jika respon imun sel T mampu menghancurkan VHB maka infeksi VHB akan berakhir, tapi jika respon imun tidak efektif untuk menghancurkan VHB, maka timbul proses nekroimflamasi kronis yang diikuti dengan penggantian sel baru yang tidak terkendali sehingga berakhir pada KHS.3



Gambar 4. Infeksi virus kronis dan stres sel yang berakhir ke kerusakan sel hati dan
KHS
Dikutip dari : 2



Gambar 5: Proses terjadinya keganasan hepatosit karena proses infeksi, kerusakan dan proses pergantian sel.
Dikutip dari 2


Imunobiologi infeksi VHB dan VHC kronis

Telah banyak di kemukakan peran Sel T dalam perjalanan infeksi VHB dan VHC kronis serta KHS. Sel T killer yang aktif akan menghancurkan virus pada saat infeksi akut, jika respon ini tidak adekuat, maka penderita akan menjadi karier kronis. 2
Sistem imun dalam patogenesis infeksi VHB meliputi sel B, T dan sel Natural Killer (NK). Masing-masing sel tersebut akan mempengaruhi sel mieloid dan sel non hepatosit sebagai akibat adanya infeksi pada sel hepatosit. Suatu zat menyerupai glikolipid, alkil α-aza galactose, α-galactosal-ceramide , akan mengaktifkan gen pertahanan sel dan mengurangi replikasi virus hanya pada sel yang terinfeksi virus. 2


Aflatoksin
Aflatoksin merupakan metabolit Aspergillus flavus, suatu substansi karsinogenik hepatotosik. Aflatoksin bisa mencemari bahan makanan yang disimpan dalam keadaan lembab seperti jagung, beras, kacang tanah, kedelai dan gandum. Aflatoksin B1 (AFB1) merupakan metabolit utama yang diproduksi oleh jamur ini dan diketahui merupakan zat karsinogenik hati yang paling poten. AFB1 yang masuk dalam tubuh, oleh hati akan dimetabolisme melalui sistem MPO (microsomal mixed-function-oxydase) yang dapat mendetoksifikasi sifat karsinogen zat kimia menjadi lebih lemah. Hasil metabolit tersebut seperti AFM1, AFQ1 yang mampu berikatan dengan DNA dan RNA. 3,4

Aflatoksin dan mutasi p53 pada KHS

Terdapat hubungan antara mutasi pada kodon 249 p53, paparan AFB1 dan kasus KHS, namun mekanisme terjadinya mutasi kodon pada paparan AFB1 masih belum jelas. Mutasi kodon 249 pada p53 ini merupakan indikator adanya paparan AFB1 dimasa lampau. 4

peranan endoskopi pada perdarahan saluran cerna

PERANAN ENDOSKOPI PADA PERDARAHAN SALURAN CERNA

PENDAHULUAN

Pemeriksaan saluran cerna dengan menggunakan alat yang menyerupai endoskopi untuk pertama kalinya dilakukan pada abad ke-18. Pada saat itu pemeriksaan dilakukan dengan cara mengintip melalui suatu tabung yang dimasukkan ke dalam rektum penderita dengan penerangan lilin untuk dapat melihat keadaan didalam rektum. Cara ini kemudian berkembang dengan pemakaian alat dari logam yang pemakaiannya masih memberikan penderitaan bagi pasien. 1
Baru pada tahun 1932, diperkenalkan suatu gastroskop setengah lentur yang mempunyai lapang pandang yang lebih luas, lebih praktis dan aman. Alat ini kemudian dilengkapi dengan kamera dan forsep untuk biopsi. Endoskopi menjadi lebih baik saat prinsip-prinsip optik serat (fiber optic) diterapkan pada alat endokopi.1
Endoskopi serat optik sudah banyak digunakan pada orang dewasa, namun tidak demikian pada anak. Endoskopi serat optik pada usia anak boleh dikatakan masih relatif baru terutama di Indonesia. Hal tersebut sebagian disebabkan karena bila dibandingkan dengan orang dewasa, kelainan-kelainan seperti tumor gastrointestinal maupun tukak memang lebih jarang pada usia anak. Walaupun demikian, akhir-akhir ini keluhan yang menahun yang sering menimbulkan dampak pada aktivitas sehari-hari serta keadaan kedaruratan pada anak mulai meningkat. Nyeri perut yang berulang, muntah berulang, keluhan pascabedah, disfagia, perdarahan gastrointestinal, dispepsi non ulkus, kembung berulang, penyakit radang usus, makin sering dijumpai dan perlu mendapatkan perhatian dan penganganan khusus. Endoskopi pada usia anak makin diperlukan dalam tata laksana penderita tersebut.1













Gambar 1. Bagian-bagian endoskopi 2.


Jenis-jenis endoskopi: 2
Secara garis besar endoskopi dibagi atas 2 yaitu :
1.Endoskopi saluran cerna atas
a.Esofagogastroduodenoskopi
b.Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography ( ERCP )
2.Endoskopi saluran cerna bawah
a.Colonoskopi
b.Proktosigmoidoskopi
c.Anoskopi
Enteroskopi
Endoskopi kapsul


INDIKASI

Indikasi penggunaan endoskopi pada anak perlu dikaji dengan cermat. Hal ini tidak saja karena harga dan pemeliharaan alat endoskopi yang mahal, tetapi juga adanya bahaya yang mungkin timbul pada usia anak.Seperti penggunaan obat yang harus secara rasional, maka untuk memperoleh hasil yang optimal, penggunaan alat endokopi harus pula dilakukan secara rasional. 1-3

Indikasi Esofagogastroduodenoskopi.1-3
1.Hemetemesis dan melena
2.Tertelan zat korosif atau benda asing
3.Muntah berulang atau menahun
4.Melakukan tindakan biopsi pada mukosa atau neoplasma saluran pencernaan.
5.Menilai kembali hasil suatu tindakan pembedahan seperti pada atresia esofagi dan duodenum, pembedahan cara Heller ( untuk akalasia), cara Fredet-Ramstedt ( untuk piloro stenosis hipertropik) gastrektomi dsb.
6.Indikasi terapi : Kauterisasi lesi yang berdarah, dilatasi
striktura, pengangkatan benda asing

Indikasi Kolonoskopi 1-3
1.Perdarahan gastrointestinal baik segar ( hematoschezia) atau melena
2.Diare kronik yang mengandung lendir dan atau darah
3.Dugaan inflammatory bowel disease.
4.Nyeri abdomen menahun dan berulang.
5.Pengamatan kanker : - inflammatory bowel disease, Polyposis syndrome
6.Indikasi terapi : pengangkatan polip, pengangkatan benda asing,
dekompresi megakolon toksik, dilatasi striktura, kauterisasi lesi berdarah.




KONTRAINDIKASI
Kontraindikasi pemakaian endoskopi atas adalah: 1-3
1.Kontraindikasi umum :dekompensasi jantung, paru, renjatan dan koma
2.Kontraindikasi khusus : perforasi, lesi korosif akut atau phlegmon esofagitis/ gastritis, aneurisma aorta torakal.
3.Kontraindikasi relatif :
Gangguan perdarahan atau gangguan fungsi trombosit, hepatitis virus akut HBs antigenemia, kifosis vertebra servikalis, striktura esofagus bagian atas, anemia berat

Kontraindikasi kolonoskopi: 1-3
1. Kontraindikasi umum : Peritonitis, renjatan dan kejang
2. Kontraindikasi khusus : megakolon toksik, aneurisma aorta abdominal, hepatomegali
atau splenomegali hebat, asites masif.
3. Kontraindikasi relatif :
Peradangan usus yang akut dan fulminan, gangguan perdarahan atau
gangguan fungsi trombosit, hepatitis virus akut , HBs antigenemia, kifosis
vertebra servikalis, hernia, anemia berat

Endoskopi bagian atas merupakan prosedur yang relatif aman. Komplikasi dikatakan kurang dari 2%. Walaupun komplikasi yang timbul mungkin lebih tinggi daripada orang dewasa, tetapi kebanyakan bersifat ringan seperti flebitis karena sedasi intravena. Kadang dijumpai henti napas transien karena sedasi yang berlebih yang dapat dihindarkan dengan sedasi bertahap (titrasi) dan pemantauan yang baik. Pemberian nalokson dapat segera memperbaiki pernapasan. Spasme bronchial dapat pula terjadi karena sedasi berlebihan.

KOMPLIKASI
Komplikasi yang terjadi karena prosedur endoskopi sendiri sebetulnya sangat jarang. Dilaporkan terjadinya perforasi, perdarahan sementara ditempat dilakukannya hisapan, aspirasi, hematoma, retrofarings dan lepasnya / patahnya gigi. 1,2

Komplikasi Endoskopi Atas 1,2
Akibat premedikasi (sedasi)
Henti napas transien, gejala ekstrapiramidal, kelebihan obat anastesi, hipotensi, gangguan koordinasi, bradikardi, spasme bronkial
Akibat prosedur endoskopi
Perforasi, laserasi selaput lender, perdarahan di tempat hisapan, aspirasi
hematoma retrofaring, gigi lepas/patah
Akibat penekanan trakea
Gangguan irama jantung ( refleks vago-vagal)
Komplikasi Kolonoskopi. 1,2
Akibat premedikasi (sedasi)
Gejala ekstrapiramidal, hipotensi, bradikardi, flebitis
Akibat prosedur endoskopi
Perforasi, laserasi selaput lendir, perdarahan di tempat hisapan, invaginasi setelah kolonoskopi, infeksi
Premedikasi, sedasi dan anestesi 1,2
Di banyak negara pemeriksaan panendoskopi dan kolonoskopi adalah pemeriksaan tanpa perlu merawat penderita, kecuali untuk polipektomi dan skleroterapi (untuk varises esophagi). Di Eropa dan Amerika Serikat pada umumnya dilakukan sedasi dengan diazepam, meperidin dan atau beberapa obat sedatif yang lain terhadap anak dan bayi. Di Jepang masih dijalankan anestesi umum. Hingga saat ini belum ada keseragaman pendapat masalah premedikasi, sedasi dan anestesi. Demikian pula apakah pemeriksaan dilakukan didalam kamar pemeriksaan endoskopi atau kamar operasi. Pengunaan narkose tergantung pada umur anak, kerjama dengan penderita dan rencana tindakan yang akan dilakukan selama prosedur endoskopi. Untuk anak besar yang kooperatif cukup dengan sedasi ringan dengan diazepam (1 mg/kg berat badan) dan anestesi lokal melalui semprotan pada tenggorokan. Untuk anak dibawah 10 tahun dan bayi diberikan sedasi penuh dengan diazepam 2-4 mg/kg berat badan, meperidin 1-4 mg/kg berat badan dan prometazin ½-1 mg/kg berat badan, semua secara intravena.
Anestesi lokal pada tenggorokan tidak dan jangan diberikan karena akan mengurangi daya refleks muntah dan batuk serta mendatangkan bahaya aspirasi. Pada tindakan sedasi tersebut, harus dipersiapkan alat dan obat resusitasi seperti ambubag, O2 alat pengisap lendir dan obat-obat seperti nalokson (antidotum meperidin), adrenalin, kortison, dan sebagainya.

Teknik pemeriksaan 2
Anak ditidurkan pada posisi miring pada sisi kiri, kemudian ujung alat endoskopi mulai dimasukkan melalui mulut, faring ke dalam esophagus, lambung, bulbus dari duodenum, sambil dengan hati-hati dan teliti mengamati bagian-bagian tersebut. Melalui pylorus memerlukan sedikit keterampilan, yaitu usaha agar pylorus selalu ada ditengah-tengah lapangan penglihatan, dengan menggerakkan kemudi ke kanan atau ke kiri, tarik ke atas atau bawah mengikuti gerakan lambung. Bulbus terbaik diamati pada saat baru saja melewati pylorus, karena pada waktu alat ditarik keluar setelah mencapai bagian duodenum kedua atau ketiga, maka ujung skop akan langsung ke luar dari bulbus ke dalam lambung sehingga tidak sempat mengamatinya lagi.
Pada antrum diamati kelainan mukosa maupun gerakan peristaltik. Kurvatura minor maupun mayor diteliti apakah ada kelainan, bila perlu dengan meniupkan udara agar lambung mengembang supaya lipatan-lipatan merata. Kardia dan fundus dapat diamati dengan cara menekuk ujung skop 1800 yang dapat dimungkinkan dengan memutar pengemudi atas bawah sehingga ujung alat berbentuk huruf U, lalu dengan menarik alat, yang ujungnya tadinya berada di antrum, ke arah ke luar dan dengan demikian akan mendekati kardia dan fundus.
Duodenum bagian kedua dan ketiga, kadang-kadang sulit dicapai, tetapi gerakan menarik alat keluar, skop akan meluruskan diri dan dengan demikian ada gerakan paradoksal dari alat untuk maju atau masuk lebih dalam, sehingga duodenum bagian kedua dapat dicapai dan ampula vateri dapat terlihat.
Demikian pula dilaksanakan pengamatan sekali lagi sewaktu alat ditarik keluar dengan mengisap cairan yang ada dalam lambung sewaktu masuk untuk menghindari aspirasi bila timbul muntah dan mengisap udara sebanyak mungkin dari lambung sewaktu keluar untuk menghindari rasa penuh dan kembung selesai pemeriksaan. Esofagus yang telah diperiksa sewaktu masuk, sekali lagi diamati sewaktu ke luar, terutama diperhatikan apakah terdapat trauma akibat manuver alat, dapat pula diamati larings dan pita suara sewaktu hampir mencapai rongga mulut.


PERANAN ENDOSKOPI PADA PERDARAHAN SALURAN CERNA.
Perdarahan saluran cerna merupakan suatu keadaan kegawatan sehingga harus dilakukan tindakan segera. Endoskopi berperan dalam menentukan penyebab dan lokasi perdarahan sehingga bisa dilakukan tindakan yang tepat untuk menghentikan perdarahan. 4. Berdasarkan fungsinya, endoskopi terbagi 2, endoskopi diagnostik dan endoskopi terapeutik, endoskopi diagnostik berperan dalam menentukan penyebab perdarahan dan lokasi lesi tersebut, sedangkan endoskopi terapeutik berperan untuk menghentikan perdarahan yang terjadi. 4
Terdapat berbagai jenis teknik endoskopi terapeutik untuk menghentikan perdarahan , dengan berkembangnya teknologi, tidak hanya perdarahan karena ulkus peptikum dan perdarahan varises yang bisa dihentikan, tapi juga perdarahan didaerah usus halus dan kolon. 4 Dua dekade terakhir, endoskopi terapeutik berkembang dengan pesat sehingga teknik yang dilakukan semakin mudah dan mudah ditoleransi oleh pasien. 4.
Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas
Endoskopi
Endoskopi merupakan pemeriksaan yang lebih disukai untuk melakukan evaluasi perdarahan pada saluran cerna, umumnya endoskopi diindikasikan untuk perdarahan saluran cerna yang memerlukan transfusi darah atau perdarahan berulang yang tidak diketahui sebabnya. 5-7
Endoskopi sangat berperan dalam menentukan penyebab perdarahan saluran cerna yang sulit ditentukan berdasarkan pemeriksaan radiologis. Beberapa lesi yang tak terlihat pada pemeriksaan radiologis bisa tampak pada pemeriksaan endoskopi seperti esofagitis, Mallory Weiss síndrome, gastritis erosif, teleangiektasi dll. 7,8
Endoskopi bisa menentukan penyebab perdarahan saluran cerna pada 90 % kasus. Pemeriksaan endoskopi yang dilakukan dalam 12- 24 jam saat perdarahan saluran cerna sangat membantu dalam menentukan lokasi dan terapi yang tepat untuk kelainan tersebut, Namun perlu diketahui bahwa sebagian besar perdarahan saluran cerna pada anak akan berhenti secara spontan, sehingga pemeriksaan endoskopi dilakukan pada kasus-kasus yang memerlukan terapi lanjutan atau tindakan bedah. Endoskopi dikontraindikasikan pada keadaan klinis yang tidak stabil seperti syok hipovolemi, infark miokard atau anemia berat. 5,9-11
Endoskopi terapi
Banyak jenis endoskopi terapi yang tersedia untuk kasus perdarahan saluran cerna, seprti elektrokoagulasi (heater probe, monopolar probe dan bipolar electrocoagulation (BICAP) probe) koagulasi laser, koagulasi Plasma Argon, penyuntikan epinefrin dan sklerosan, ligasi dan pemasangan slip. Sayangnya Sangat sedikit literatur yang mencatat tentang keberhasilan pelaksanaan endoskopi tersebut pada anak. 1,5,7 Koagulasi argon lebih disukai karena zat ini mudah melewati saluran endoskopi anak yang kecil dan kedalaman penetrasi bisa diatur. Terapi laser lebih banyak dilakukan pada penderita dewasa dan diketahui banyak menimbulkan kerusakan pada dinding saluran cerna.5. Penyuntikan obat sklerosan lebih banyak digunakan karena mudah pelaksanaannya dan tidak mahal . Perdarahan pada kasus varises esofagus dapat dihentikan dengan penyuntikan zat sklerosan atau pengikatan varises, pemasangan slip merupakan tindakan terpilih untuk menghentikan perdarahan karena varises esofagus karena dinding esofagus yang tipis dan bisa ditoleransi oleh penderita anak, sehingga banyak literatur menyatakan bahwa pengikatan varises lebih disukai dibanding penyuntikan sklerosan.1,4,5,7

Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah.
Anoskopi
Anoskopi merupakan pemeriksaan pertama pada kasus hematochezia pada anak, pemeriksaan ini bisa menentukan penyebab perdarahan seperti fisura anal atau hemoroid, namun adanya lesi di daerah anal, bukan berarti menyingkirkan kelainan lain didaerah saluran cerna bagian bawah yang bisa menimbulkan perdarahan. 3,5
Proktosigmoidoskopi
Proktosigmoidoskopi merupakan prosedur pertama pada perdarahan saluran cerna bawah yang diduga berasal dari daerah rektosigmoid, seperti hemoroid, polip, colitis dan inflammatory bowel disease, pemeriksaan ini lebih akurat menentukan sumber perdarahan dibanding pemeriksaan Barium enema disamping itu pada saat pelaksanaan juga bisa dilakukan biopsi. 3,5,8
Enteroskopi
Dengan berkembangnya teknologi, pada saat ini telah bisa dilakukan pemeriksaan pada sebagian atau seluruh saluran cerna, sehingga bisa menentukan penyebab perdarahan diantara ligamen Treitz dan katup ileocecal. 1,5
Kapsul Endoskopi
Kapsul endoskopi merupakan pemeriksaan yang lebih baik dalam menentukan perdarahan pada usus halus dibanding enteroskopi. Pemriksaan ini aman dan ditoleransi dengan baik. Pemeriksaan ini bisa mencapai daerah yang tidak bisa dicapai oleh pemeriksaan enteroskopi.5,12
Keuntungan pemeriksaan ini adalah tidak membutuhkan anestesi, pasien bisa langsung menelan peralatan yang dirancang kecil ini, kelemahan kapsul endoskopi antaralain kekuatan baterai yang habis sebelum seluruh saluran cerna terekam, tidak bisa melihat seluruh lapangan pandang dan tidak bisa melakukan biopsi, dengan keterbatasan tersebut, endoskopi tradisional masih tetap diperlukan. 5,12
Endoskopi berperan pada beberapa kasus perdarahan saluran cerna
Esofagitis
Esofagistis refluks biasanya ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pada pemeriksaan endoskopi tampak gambaran granuler dan retakan pada dinding mukosa esofagus yang lebih sering tampak dibagian distal dibanding proksismal esofagus, pada beberapa kasus yang berat, bisa tampak erosi atau ulserasi pada dinding esofagus. 1





Gambar 2. Gambaran endoskopi pada esofagitis. 3
Varises esofagus
Kelainan ini ditandai dengan muntah darah, penyebab varises adalah hipertensi portal akibat trombosis vena porta sebelum masuk hepar, omfalitis dengan atau tanpa riwayat kanulasi vena Umbilikalis, dehidrasi dll. 2,5,13
Penanganan terbaik melalui endoskopi terapi dengan penyuntikan obat sklerosan bila terjadi perdarahan atau pengikatan varises dimana perdarahan bisa dikontrol pada 90 % kasus, varises bisa dihilangkan pada 80 % kasus. Walaupun tampak sederhana , komplikasi setelah penyuntikan skerosan perlu diperhatikan, seperti striktura, berulangnya varises dan perdarahan berulang. Kekambuhan terjadinya varises dapat dilihat dengan endoskopi setelah 1-2 tahun kemudian dan dapat diatasi dengan penyuntikan obat sklerosan lagi. 5,7,8,13
Beberapa literatur menyatakan bahwa pengikatan varises merupakan cara yang terbaik dilakukan pada anak, karena kurangnya rasa nyeri retrosternal dan tidak menimbulkan demam. Kelemahan pengikatan varises adalah tidak bisa dilakukan pada bayi dan anak kecil karena peralatan yang besar dan terjadinya perdarahan ulang pada 80 % kasus. 3,5,7

Gambar 3. Gambaran endoskopi pada varises esofagus. 3

Mallory-Weiss syndrome.
Merupakan kumpulan gejala akibat robeknya esofagus setelah muntah hebat, pada endoskopi tampak robekan pada mukosa dan sub mukosa pada gastroesophageal junction. Endoskopi bisa menentukan kelainan ini sebagai penyebab perdarahan dibanding pemeriksaan radiologis. Pada kasus perdarahan hebat bisa dilakukan penyuntikan epinefrin atau pemanasan .1,7,8





Gambar 4. Gambaran endoskopi pada Mallory-weiss syndrome. 7

Ulkus peptikum
Penyakit ulkus peptikum pada bayi dan anak biasanya ada hubungan dengan penyakit primer lain seperti sepsis, pemakaian obat steroid, penyakit jantung bawaan, penanganan secara medis biasanya berhasil baik sehingga tindakan pembedahan jarang dilakukan, hanya jika akibat perdarahan nya dapat mengancam jiwa .2
Pada pemeriksaan endoskopi biasanya hanya ditemukan perdarahan gastritis difus yang dapat berhenti sendiri. Perdarahan pada ulkus peptikum yang hebat bisa dihentikan dengan melakukan koagulasi laser atau kauterisasi melalui endoskopi 2,8,13,14





Gambar 5. Gambaran endoskopi pada ulkus peptikum. 8
Gastritis
Gambaran endoskopi pada gastritis berupa mukosa bergranul, retakan, eritematus, udem atau bernodul2, penebalan rugae, erosi atau lesi hemoragik dengan atau tanpa peningkatan vaskularisasi. Perdarahan yang hebat bisa dihentikan dengan melakukan koagulasi laser atau kauterisasi melalui endoskopi,1,13
Melalui endoskopi bisa dilakukan biopsi untuk membantu membedakan antara sarkoidosis, Helicobacter pylori dan lain-lain. Dari pemeriksaan endoskopi, gastritis karena Helicobacter pylori memberikan gambaran bernodul pada mukosa antrum. 1,13







Gastritis H pylory

Gambar 6. Gambaran endoskopi pada gastritis. 13

Crohn disease
Pemeriksaan kolonoskopi berguna untuk membedakan kelainan ini dengan kolitis ulserativa melalui biopsi jaringan yang diambil saat pemeriksaan. Kolonoskopi memberikan gambaran ulkus bergaung, eritema, udem, striktura atau gambaran susunan batubata serta erosi mukosa pada lambung dan usus halus.1,3,9





Gambar 7. Gambaran endoskopi pada Crohn disease. 3

Henoch Schonlein purpura.
Dari pemeriksaan endoskopi bisa ditemukan gambaran purpura pada lambung, duodenum dan kolon menyerupai lesi dikulit, disamping itu bisa dilakukan biopsi dinding saluran cerna untuk diagnosis Henoch Schonlein purpura.1,3
Intususepsi
Secara klinis ditandai dengan gejala obstruksi usus, teraba massa abdomen, distensi abdomen dan muntah disertai lendir bercampur darah merah segar di feces, melalui kolonoskopi bisa ditentukan adanya intususepsi dan lokasi nya. 2,3
Divertikulum
Ditandai dengan darah melalui rektum berwarna merah bata sampai kecoklatan tanpa rasa nyeri, dapat intermiten atau masif. Perdarahan karena divertikulum pada umumnya berhenti spontan, namun untuk. kasus berat kolonoskopi berperan penting. Kolonoskopi berperan sebagai alat diagnostik dan terapi pada kelainan ini, disamping menentukan lokasi divertikulum, juga bisa dilakukan kauterisasi atau penyuntikan epinefrin pada divertikulum yang sedang mengalami perdarahan, disamping itu pemasangan metallic-clip bisa menjadi alternatif pengobatan. 2,3,8,10
Polip Intestinal
Ditandai dengan keluarnya darah segar tanpa nyeri per rektum bersamaan dengan gerakan usus, sering bersamaan juga dengan keluarnya polip lewat anus . Kolonoskopi berperan sebagai alat diagnostik dan terapi. Melalui pemeriksaan kolonoskopi bisa ditemukan polip diseluruh bagian saluran cerna, seperti lambung atau di usus halus, disamping itu bisa dilakukan pengangkatan polip dan dilakukan pemeriksaan patologi anatomi untuk menentukan apakah kelainan ini merupakan suatu keganasan. 1,3,6







Gambar 8. Gambaran endoskopi pada polip intestinal 6

Kolitis ulserativa
Penyakit ini bisa timbul dari bagian rektum sampai bagian proksismal kolon, namun jarang melibatkan ileum terminal. Pemeriksaan kolonoskopi menampakan gambaran udem submukosa, gambaran vaskular hilang, granular, retakan, pseudopolip, dan eksudat mukopurulent. Melalui endoskopi bisa dilakukan biopsi sebagai diagnosis pasti kolitis ulserativa.1,5,6






Gambar 9. Gambaran endoskopi pada lesi vaskuler 4





ENDOSKOPI BAWAH
Perdarahan
Perdarahan rectal merupakan indikasi utama untuk dilakukan endoskopi. Penyebab tersering perdarahan ini adalah polip usus besar. Kebanyakan polip pada anak adalah polip juvenil yang biasanya mengalami autoamputasi secara spontan dengan akibat suatu perdarahan singkat. Perdarahan dapat pula terjadi bila polip juvenil mengalami luka atau infeksi.
Sindrom poliposis familial perlu dicurigai bila dijumpai lebih dari 5 polip dan ditegakkan dengan pemeriksaan histoloogi. Pada anak dan bayi, perdarahan gastrointestinal bagian atas dapat berupa perdarahan rectal. Hal ini penting dipikirkan sebelum dilakukan kolonoskopi. Kegunaan utama kolonoskopi pada usia anak adalah untuk membedakan proses peradangan (misal kolitis) dari kelainan lokal (polip, perdarahan). Atas dasar ini kolonoskopi digunakan sebagai pilihan pertama untuk diagnosis perdarahan akut atau berulang yang sifatnya ringan atau sedang. Sedangkan penderita dengan perdarahan aktif yang sedang sampai berat, dianjurkan pemakaian radionuclide scanning. Bila dengan scanning tidak ditemukan kelainan, barium enema dengan kontras atau kolonoskopi ataupun enterokolonoskopi intrabedah mungkin diperlukan. Perdarahan samar dengan gejala anemia defisiensi besi dapat disebabkan karena merembesnya darah secara pelan tetapi persisten atau intermiten dari berbagai tempat diusus bagian atas maupun bawah, oleh kelainan-kelainan seperti polip, malformasi vaskular, hiperplasi limfoid nodular, penyakit peradangan usus kronik (chronic inflammatory bowel disease), dan sebagainya.

Hematemesis dan melena
Hematemesis dan melena merupakan salah satu indikasi tersering setelah sakit perut berulang dalam hal dasar penggunaan alat endoskopi. Endoskopi jelas lebih baik dibandingkan dengan foto kontras dalam menentukan penyebab perdarahan, walaupun pada 10-20% dari kasus tetap tidak dapat ditentukan lokasi perdarahannya. Hal ini mungkin karena keluarnya darah terjadi di nasofarings atau karena jumlah darah yang hilang tidak banyak. Dengan demikian sebelum dilakukan endoskopi perlu diperiksa dengan seksama daerah hidung anterior atau orofarings untuk melihat ada tidaknya tanda-tanda epistaksis. Masalah lain dalam penggunaan endoskopi adalah waktu antara episode hematemesis dan waktu dilakukan endoskopi. Keterlambatan lebih dari 24 jam dapat mengurangi keberhasilan dalam menemukan sumber perdarahan. Dengan demikian endoskopi harus cepat dilakukan begitu penderita sudah mencapai stabilitas sirkulasi darahnya. Bila ini tercapai, maka lambung perlu dicuci sampai cairan aspirat kembali menjadi jernih ataupun sampai perdarahan berkurang sekali. Kebanyakan perdarahan akan berhenti dengan cara konservatif ini. Bila perdarahan tidak dapat dikendalikan dan dipertimbangkan tindakan bedah, maka endoskopi merupakan tindakan kedaruratan. Dalam hal ini mungkin saja pandangan melalui endoskopi akan terhalang oleh banyaknya darah, akan tetapi begitu tempat perdarahan dapat diperkirakan, maka ini akan merupakan petunjuk yang berharga bagi ahli bedah dalam melakukan tugasnya.

KESIMPULAN
Endoskopi merupakan instrumen yang sangat berperan dalam diagnostik maupun terapetik pada kelainan saluran cerna. Dengan teknik endoskopi yang semakin canggih tindakan bedah pada beberapa kasus dapat dikurangi. Indikasi penggunaan endoskopi bervariasi sesuai dengan usia dan gejala yang timbul. Pemeriksaan endoskopi lebih banyak manfaatnya dalam mendiagnosis kelainan-kelainan saluran cerna yang tak tampak secara radiologis.
Endoskopi pada anak merupakan prosedur yang penting pada pelbagai kelainan saluran cerna. Prosedur ini cukup aman, dan bila dipergunakan dengan indikasi dan cara yang tepat akan memberikan banyak informasi diagnostik. Interpretasi yang tepat diperlukan untuk menghubungkan kelainan yang ditemukan dengan diagnosis.. Dengan melihat algoritma diagnostik dan penatalaksanaan sesuatu gejala penyakit, dapat diketahui indikasi pemakaian endoskopi saluran cerna, baik bawah maupun atas.
Pemeriksaan endoskopi sangat bermanfaat sebagai alat diagnostik dan terapeutik pada perdarahan saluran cerna, dengan pemeriksaan endoskopi yang baik bisa ditentukan penyebab, lokasi perdarahan, tindakan untuk menghentikan perdarahan serta menentukan prognostik.